Sunday, February 4, 2007

Agama dengan Negara; Dinamika Politik Ketatanegaraan

Oleh : Ruslan H. Husen §


Dasar Negara

Negara Indonesia awal persiapan kemerdekaannya dihadapkan pada pilihan kepentingan dalam menentukan dasar negara. Kelompok yang saling bersikeras semuanya memiliki konsep ideal yang patut diberikan pada negara. Konsep ideal yang dinilai memudahkan untuk mencapai tujuan negara. Mereka itu adalah kelompok Islam, Nasionalis dan Komunis.

Keinginan para kelompok itu, yang tergabung dalam tokoh nasional kemerdekaan negara Indonesia (grand father) tertuang dalam perumusan konstitusi negara, sebagai cita-cita luhur para pendahulu negara. Ada yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, dan ada yang menginginkan agama di pisahkan dengan negara dengan alasan masyarakat Indonesia plural dan heterogen.

Polemik itu terus saja menguat, seiring dengan perjalanan ketatanegaraan, terlihat dalam kerja-kerja Konstituante dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1950. Lagi-lagi dasar negara menjadi perdebatan panjang, sehingga Presiden mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang isinya membubarkan konstituante dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945.

Dengan dikeluarkannya dekrit itu sangat melukai hati dan perasaan ummat Islam, sebab kerja-kerja konstituante telah mendekati selesai dan disana Islam berpeluang menjadi dasar negara. Pembentukan Konstituante ini, awalnya ingin menyempurnakan konstitusi negara Indonesia yang di katakan oleh Presiden Soekarno sebagai undang-undang dasar kilat, yang ingin diperbaiki lagi ketika keadaan sudah tenang dan membaik, pidato itu dapat ditemukan pada tanggal 18 agustus 1945, sehari setelah pengumuman kemerdekaan negara Indonesia.

Presiden Soekaro mengatakan UUD 1945 sebagai undang-undang kilat, dengan kondisi para penyusun konstitusi yang masih diburu waktu kemerdekaan, dan kondisi mempersiapkan dan mempertahankan kemerdekaan. Kasus kontrofersial dalam konstitusi negara awal kemerdekaan adalah dengan di hapusnya tujuah kata “KeTuhanan dengan kebebasan menjalankan Syariat-Islam Bagi Pemeluknya”, dari konstitusi dan digantikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa seperti sekarang ini.

Perjalanan konstitusi negara Indonesia selalu tidak lepas dari dasar negara yang ingin dijadikan. Setelah kejatuhan Presiden Seoharto dan orde baru, kembali membuka peluang untuk perubahan UUD 1945, setelah kurang lebih 32 tahun disakralkan dengan tidak bisa dirubah. Era itu adalah era reformasi sebagai pengganti rezim orde baru. Dalam era ini kembali menghangat Islam ingin dijadikan dasar negara, disamping penentangan oleh kelompok agama lain dan kelompok nasionalis dan serta sekuler.

Pertentangan para kelompok nasionalis, sekuler dan Islam tidak bisa di pisahkan dari pandangan alam (world fiew) para pendukungnya. Kelompok Islam menganggap tujuan negara tercapai dengan idealnya jika konsep dasar diambil dari nilai-nilai Islam. Sebab Islam menjawab semua tantangan zaman dan permasalahan. Sementara kelompok nasionalis-sekuler menganggap jangan ada campur tangan agama dan simbolnya dalam konstitusi negara, sebab kehidupan masyarakat adalah heterogen dan plural. Olehnya harus menemukan konsep dasar negara yang bisa di terima oleh semua pemeluk lainnya, dengan tetap memberikan kebebasan kepada semua pemeluk agama.

Ketika di tentukan dasar negara, maka hal itu akan menjadi cerminan dan lahirnya setiap kebijakan kenegaraan yang substansinya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat kepada suatu tujuan yang di inginkan ideologi yang bersangkutan. Memang dasar pemikiran para tokoh-tokoh elit bangsa tidak dapat dipisahkan dengan ideologi mereka tentang bagaimana mereka memandang alam ini. Sehingga dasar-dasar pemikiran itu tidak pernah keluar dari kepentingan idealismenya sebagai seorang perumus konsep dan konstitusi kenegaraan.

Heterogenitas Masyarakat

Bagi mereka yang memandang heterogennya kehidupan masyarakat akan menolak Islam menjadi dasar negara, termasuk pemasukan semua unsur keagamaan lainnya. Penolakan itu sebagai akibat kemajemukan kehidupan bernegara yang terdiri dari agama, kebudayaan, sejarah dan ras. Penolalan didasarkan untuk berusaha menemukan titik temu mengenai konsep dasar pelaksanaan kenegaraan antara semua komponen masyarakat. Pemaksaan atas suatu ideologi tertentu bisa menyebabkan integrasi bangsa, dan itu merupakan suatu yang merugikan kehidupan berbangsa dan negara.

Keinginan itu timbul atas dasar hidup bersama dengan dasar keyakinan masing-masing. Kehidupan itu tetap dilandasi nilai-nilai kemanusiaan yang akan cinta perdamaian, keadilan dan kebenaran universal, tanpa di tafsirkan secara subyektif oleh kelompok tertentu. Hidup bersama atas nilai bersama dengan orientasi kehidupan yang lebih baik. Jadi substansi kehidupan majemuk yang diutamakan, dengan menyampingkan perbedaan ideologi yang mendasarinya. Jadi substansi kehidupan adalah nilai-nilai perdamaian dan kebenaran dari aliran dan landasan ideologi manapun.

Dalam versi ini, yang paling diutamakan adalah substansi kehidupan, tanpa melihat dari kelompok mana ia berasal. Substansi ini adalah hasil cita-cita ideal bersama. Banyaknya kelompok politik yang berkembang, baik yang memakai simbol agama atau tidak, mencerminkan heterogennya masyarakat. Pemaksaan terhadap suatu bendera, sesungguhnya tidak menyelesaikan permasalahan, malahan akan membuat egosime sektarian.

Berangkat dari keinginan semua pihak, maka kebebasan politik sebagai unsur yang dijamin dalam demokrasi menuntut untuk dilakukan. Kebebasan itu sebagai medium untuk menyalurkan aspirasi politik, yang sesungguhnya ingin dicapai. Keberadaan lembaga politik mutlak diperlukan dalam kondisi kenegaraan. Lembaga itulah sebagai sarana penyaluran aspirasi politik dengan bergerak dan bersaing secara sehat dan jujur. Tetapi sekali lagi tidak perlu mengetengahkan simbol-simbol keagamaan, karena yang terpenting adalah substansinya yang memuat nilai-nilai kemanusiaan.

Paradigma politik yang menginginkan terjadi keseragamaan pandangan, akan membuat ketidak-adilan dengan lahirnya pihak-pihak yang dirugikan. Dilema itu akan mengikis rasa persatuan bangsa, yang bisa berujung pada disingrasi bangsa. Seharusnya semua pihak diberi kebebasan untuk memperjuangankan aspirasi politiknya. Pandangan ini pula harus didukung oleh kebijakan politik pemerintah yang berkuasa, yang memberikan kesempatan kepada kelompok politik lainnya.

Dalam medium persaingan politik yang jujur itulah, bisa memasukkan substansi ideologi masing-masing, sebagai suatu kerangka ideal yang dicita-citakan. Jika mayoritas masyarakat menginginkan Islam lahir dalam berbagai sisi kehidupan yang terwujud dalam kebijakan pemerintah, maka harus menguasai meja elit politk pengambil kebijakan kekuasaan negara. Tetapi jika tidak bisa, maka tidak ada pemaksaan kehendak itu.

Konstitusi Madinah; Sebuah Cermin Sejarah

Konstitusi merupakan sesuatu yang sangat penting bagi setiap bangsa dan negara, baik yang lama merdeka maupun yang baru saja memperoleh kemerdekaannya. Konstitusi sebagai penentu dan batas kekuasaan organ negara dalam berbuat dengan sesama organ negara lain atau dengan masyarakatnya satu sama lainnya. Konstitusi juga dapat sebagai sarana pengendalian masyarakat dalam segala aspek kehidupan[1].

Konstitusi lahir sebagai suatu tuntutan dan harapan masyarakatnya untuk mencapai suatu keadilan dan kebenaran. Dengan didirikannya negara dan konstitusi, masyarakat menyerahkan hak-hak tertentunya kepada penyelenggara negara. Negara dan konstitusi didirikan untuk menjamin hak asasi masyarakat. Hak-hak itu menjadi titik tolak pembentukan negara dan konstitusi, karena didalamnya terkandung pandangan luhur para pendiri bangsa.

Konstitusi suatu negara termuat dalam undang-undang dasar dan berbagai aturan konvensi. Konstitusi atau undang-undang dasar merupakan aturan dasar pokok negara, yang menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya aturan hukum yang lebih rendah. Disebut aturan dasar pokok negara karena ia hanya memuat aturan umum yang masih bersifat garis besar atau bersifat pokok dan masih merupakan norma tunggal yang abstrak.

Salah satu konstitusi yang pernah hadir adalah Konstitusi Madinah. Dalam sejarah Islam, bahwa sejak zaman Rasulullah Saw, telah lahir kontitusi tertulis pertama itu. Sejarah menunjukkan Nabi Muhammad Saw dan ummat Islam selama kurang lebih 13 tahun di Mekkah terhitung sejak pengangkatan Muhammad Saw sebagai Rasul, belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilyah. Umat Islam menjadi komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M hijrak ke Madinah dengan lahirnya konstitusi itu[2].

Tidak lama setelah hijrah ke Madinah, Muhammad Saw membuat suatu piagam politik untuk mengatur kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh berbagai macam golongan. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah, agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penghuninya. Di tengah kemajemukan penghuni kota Madinah itu, Muhammad Saw berusaha membangun tatanan hidup bersama, mencakup semua golongan yang ada di kota Madinah. Sebagai langkah awal ia mempersaudarakan antara muslim pendatang dengan muslim Madinah. Persaudaraan itu bukan hanya tolong-menolong dalam kehidupan sehari-hari, tetapi demikian mendalam sampai pada tingkat mewaris. Kemudian diadakan perjanjian hidup bersama secara damai di antara golongan yang ada di Madinah, baik golongan Islam maupun golongan Yahudi[3].

Konstitusi Madinah ini memberikan jaminan atas hidup beragama dan kebebasan melaksanakannya. Hidup atas perbedaan yang sudah terstruktur sejak dahulu, demi tujuan bersama yang dicita-citakan. Berikut dasar-dasar pemikiran Konstitusi Madinah yang dikemukakan oleh H. Dahlan Talib[4]. Dasar pemikitan itu, kemudian diwujudkan dalam kondisi kekinian sesuai konteks sosila-politik yang melingkupinya. Pertama, Konstitusi Madinah secara tegas mengakui eksistensi suku bangsa dan agama serta memelihara unsur solidaritasnya. Adanya penggarisan kesatuan kepada masyarakat yang lebih luas dan penting, dari pada suku yang lebih sempit. Persatuan yang dibangun dengan dasar persamaan cita-cita yang hendak diraih secara bersama, sehingga ada yang perlu dilakukan dan ada yang tidak boleh guna menjamin ketertiban hidup bersama.

Keragamaan merupakan ketentuan yang sudah pasti ada. Ia tidak bisa dihilangkan, dan itu menjadi realitas yang dapat mendewasakan sikap pengambil kebijakan dalam memaknai dan mengakui perbedaan. Olehnya, kesatuan menjadi kebutuhan utama dalam hidup bersama, dengan tidak mengorbankan satu diatas yang lainnya. Metode dan strategi mengusahakan penyatuan dan penggalian nilai-nilai yang menjadi titik temu agar persatuan dapat terlaksana.

Kedua, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama, wajib saling menghormati dan wajib saling bekerja sama antara sesama mereka, serta tidak seorang pun yang diperlakukan secara buruk. Bahkan orang lemah dan tidak mampu diantara mereka harus di bantu. Dalam UUD 1945 dikatakan, semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahannya itu. Kemudian, fakir miskin dan anak-anak terlantar di pelihara oleh negara. Konsep itu begitu ideal, tinggal sekarang idealisme dalam pelaksanaannya di lapangan guna melaksanakan amanah konstitusi.

Peran para institusi pemerintah dalam menjalankan tugas yang diberikan kepada mereka sungguh amat mulia. Komiteman kolektif dalam pelaksanaan menjadi kebutuhan guna produktifitas yang memanusiakan. Selain itu juga yang menjadi kebutuhan dalam mewujudkannya, adalah tersedianya sarana prasarana pendukung di samping aturan hukum yang menjadi payung pelaksanaan tugas mulia itu.

Ketiga, Negara mengakui, melindungi dan menjamin kebebasan menjalankan agama baik bagi orang-orang muslim maupun non-muslim. Agama sebagai kebutuhan hidup manusia menuntut penjaminan dalam hidup kenegaraan. Negara di tuntut memberikan kebebasan itu, dengan memfasilitasi berupa sarana maupun kebijakan politik yang menjadikan hidup harmonis dan dinamis.

Pengekangan dan diskriminasi terhadap pelaksanaan keagamaan, bisa memicu konflik. Kesan-kesan marjinal pada kalangan agama tertentu, akan melahirkan semangat perlawanan. Setiap agama tentu memiliki roh perjuangan dan pergerakan, dan itu akan menjadikan kekuatan utama dalam menyusun strategi dan kekuatan perlawanannya jika dirinya tersingkir dan teraniaya.

Pemerintah sebagai pelaksana kebijakan tertinggi, harus mengerti dinamika kehidupan masyarakatnya. Aturan atau kebijakan yang dikeluarkan berdimensi penalaran dan penggalian nilai-nilai kehidupan pada akar rumput atau lapisan bawah masyarakat. Hasil dari situ akan tertuang menjadi kebijakan yang bisa terterima secara suka-rela. Profesionalitas penggalian nilai-nilai kehidupan masyarakat dilakukan secara obyektif, dengan meninggalkan anasir-anasir subyektifitas yang mengarah pada kepentingan elit-elit tertentu.

Keempat, Warga negara mempunyai kedaulatan yang sama di depan hukum. Hukum sebagai pranata pengatur ketertiban masyarakat dalam mewujudkan keadilan dan kebenaran, tidak bisa hanya berpihak kepada orang-orang lemah. Dalam kaca mata hukum semua orang dengan strata sosialnya adalah sama, bagi yang bersalah harus dihukum. Hukum harus menjadi panglima atas segala di mensi kehidupan termasuk kehidupan kenegaraan. Penyaluran ketidak-puasan atas suatu keadaan atau kasus disalurkan dengan jujur dan jalan yang benar sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Menjadi ketakutan utama, adalah ketika hukum sudah tidak lagi ideal dan tidak bisa ditegakkan. Hukum telah di kendalikan oleh kekuatan politik penguasa, sehingga hukum akan berpihak kepada kepentingan penguasa. Jika hal itu terjadi, tidak ada lagi supremasi hukum, yang ada hanya sandiwara hukum di berbagai persidangan. Jaksa, hakim dan pengacara akan memainkan permainan yang menipu demi tujuan dan kepentingannya sendiri. Orang yang bersalah, belum tentu akan diputus bersalah, bahkan sebaliknya orang yang benar atau tidak bersalah dapat dipidana.

Keterpurukan penegakan hukum yang demikian itu, jelas akan mempengaruhi setiap dimensi kehidupan, sebab disana tidak akan ditemukan keadilan dan kebenaran. Kegiatan main hakim sendiri masyarakat, adalah respon nyata akibat tidak percayanya masyarakat pada penegakan hukum. Dengan melihat kenyataan itu, sistem hukum mulai dari institusi penegak hukum, produk perundang-undangan yang digunakan, budaya masyarakat dan ketersediaan sarana dan prasarana penunjang adalah mutlak diperlukan dan diperbaiki. Perbaikan itu dilakukan dengan kesadaran penuh yang melibatkan partisipasi semua komponen masyarakat.

Kelima, Hukum adat, yang berpedoman pada kebenaran dan keadilan tetap di berlakukan. Masyarakat tentu memiliki kebiasaan-kebiasaan yang sudah dilakukan turun-temurun dan itu susah untuk dihilangkan. Tetapi tidak dapat dipungkiri juga, bahwa ada ada istiadat yang telah ditinggalkan penganutnya, akibat perkembangan zaman dan pengaruh dunia luar yang lebih besar. Kebiasaan itu menunjukkan nilai luhur masyarakat, yang menjadi norma pergaulan dalam mencapai tujuannya.

Hukum adat atau kebiasaan masa lalu berfungsi mengatur kehidupan bersama. Pesan dan nilai yang terdapat di dalamnya merupakan penjelmaan orientasi yang ingin di raih. Seiring dengan perkembangan zaman, dan kebudayaan masyarakat juga mengalami perkembangan dan lebih maju, adat mulai menyesuaikan dirinya dengan tetap memperhatikan konsep idealnya. Artinya terjadi pergeseran kebudayaan kearah yang lebih mendekatkan kepada tujuan.

Nilai-nilai kemanusiaan menjadi kebutuhan dasar setiap insan, dan di sana adat di tuntut menyesuaikan diri kepadanya. Artinya adat kebiasaan tetap memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan yang sempurna. Adat kebiasaan yang tidak memasukkan nilai kemanusiaan akan mengalami pertentangan baik secara internal maupun eksternal, sehingga lama-kelamaan adat atau kebiasaan itu akan ditinggalkan.

Keenam, Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama terhadap negara. Mereka mempunyai kewajiban membela dan mempertahankan negara dengan harta, jiwa mereka dan mengusir setiap agresor yang mengganggu stabilitas negara. Peran warga negara itu dilakukan secara kolektif, sebagai akibat adanya ikatan bersama yang didasarkan atas persamaan.

Kegiatan agresor atau intervensi pihak asing kedalam kedaulatan negara, selain membahayakan kelangsungan hidup masyarakat, juga dapat merusak nilai-nilai kultural yang dibangun. Peran masyarakat sekecil apapun akan memberikan manfaat yang besar dengan bersama-sama melakukan reaksi terhadap ancaman baik secara langsung maupun tidak yang akan membahayakan stabilitas negara dan tujuan bersama.

Kegiatan yang dapat membahayakan stabilitas negara itu, bukan hanya datang dari luar negeri saja tetapi juga dapat hadir dari dalam negeri dalam bentuk billigrent atau pemberontakan. Yang jelas, warga negara mempunyai tanggung jawab yang sama terlibat secara aktif mempertahankan negara sebagai organisasi kekuasaan terbesar. Dalam melakukan pembelaan itu, pemerintah tidak bisa bergerak sendiri, sehingga harus di dukung penuh oleh rakyatnya.

Ketujuh, Sistem pemerintahan adalah desentralisasi, dengan Madinah sebagai pusatnya. Di negara manapun tentu memiliki pusat pemerintahan, sebagai tempat konsentrasi utama pelaksanaan pemerintahan. Di pusat pemerintahan itulah, kontrol kebijakan terpusat ke setiap daerah-daerah yang masuk kedalam bagiannya. Demikian pula daerah kecil atau bagian akan menyalurkan keinginanya kepada zona pengambil kebijakan tertinggi dalam negara.

Pemusatan pemerintahan itu, selain sebagai ciri kas negara juga menjadi cerminan kualitas tata pemerintahan yang sedang berjalan. Para elit politik yang ada di tingkan pusat akan berdomisili di daerah ini. Begitu pula dengan lembaga-lembaga penyelenggara negara lainnya. Yang menjadi keutamaan antara semua itu adalah adanya perimbangan kekuasaan antara semua lembaga negara yang ada dipusat dan didaerah, yang disertai dengan pembagian atau pemerataan yang adil atas hasil-hasil pembangunan.

Konstitusi Madinah menekankan adanya persamaan antara warga negara dari sisi hak dan kewajibannya. Kehidupan tata masyarakat yang berimbang antara semua warga, ditambah dengan pelaksanaan pemerintahan yang adil akan menjadikan masyarakat yang kuat, yang disebut dengan civil society. Civil society merupakan tipe masyarakat yang kuat, yang melakukan kontrol atas pelaksanaan kekuasaan, sehingga terjalin check and balance. Disamping itu juga antar pelaksana kekuasaan negara terjalin pembagian dan perimbangan kekuasaan.

Perimbangan kekuasaan dilakukan oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Perimbangan itu guna saling kontrol dan pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Dominasi kekuasaan negara pada salah satu lembaga negara, akan menimbulkan ketidak seimbangan bernegara. Di sana akan muncul diktator yang jauh dari rasa kemanusiaan, yang orientasinya hanyalah kepentingan diri sendiri atau kelompoknya.

Antara lembaga pelaksana kekuasaan negara dengan masyarakat umum sebagai pemilik kedaulatan penuh merupakan syarat negara yang kuat. Di dalamnya ada kesatuan arah, ada keseimbangan dan tujuan yang sama. Walaupun ada perbedaan kebijakan ataupun pandangan politik semuanya dilakukan melalui mekanisme yang benar berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku.

Keadaan masyarakat suatu negara tidak bersifat tetap dan baku, tetapi selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Olehnya aturan-aturan dasar dan pokok yang merupakan jiwa bergeraknya negara juga harus bersifat aktif. Artinya aturan dasar atau pokok negara harus mengikuti perkembambangan dan mampu menjawab segala tantangan zaman. Pembakuan dan kebanggan atas sejarah, seakan ingin menyamakan keadaan masyarakat terdahulu dengan keadaan sekarang, akan menyebabkan sistem kenegaraan berjalan di tempat, tidak ada peran atau terobosan menonjol dalam mengantisipasi dan menjawab tantangan zaman.

Olehnya masyarakat dan sistem politik terdahulu, masih perlu dilakukan pengkajian dan penelaan secara mendalam agar sesuai dengan sosio-kultural kehidupan ketatanegaraan. Jadi tidak ada harga mati konstitusi warisan terdahulu, walaupun tercatat dalam sejarah, konstitusi tersebut telah berhasil mencetak peradaban yang kemilang. Memang konstitusi terdahulu itu penting, tetapi bukan harga mati dengan menerapkan konsep dan teknis secara sama persis, sebab kondisi kehidupan yang bisa saja sudah berbeda.

Konstitusi Madinah apabila ingin diterapkan secara baku dengan tidak melakukan perubahan maka akan mengalami gesekan dan rintangan dalam menjawab kebutuhan zaman. Misalnya, kepala pemerintahan pada saat itu adalah bangsa Qurais karena dianggap paling pintar dan cerdas, sementara kalau itu dipaksakan maka mayoritas bangsa tidak akan sepakat dengan banyaknya bangsa-bangsa yang tersebar disetiap benua dan negara. Jadi yang utama adalah substansi konstitusi Madinah itu, bukan kulitnya yang harus disamakan secara total dalam setiap konstitusi.

Konstitusi Madinah diantaranya menginginkan kepala pemerintahan dari orang yang memiliki pengaruh yang luas dengan kemampuan intelektual yang memadai dalam mengatur negara. Olehya substansi itu, yang diadopsi kedalam konstitusi negara. Jadi substansi konstitusi negara terdahulu yang telah berhasil membawa ke peradaban yang gemilang itulah yang diambil, sambil terus melakukan penemuan lokal yang diterima masyarakat bangsa. Kebijakan lokal inilah yang memiliki kesamaan nantinya dengan nilai kemanusiaan dengan konstitusi lainnya, dari sana pula memiliki tujuan yang sama, walaupun medium yang digunakan akan berbeda.

Islam dan Negara

Manusia hidup selalu memiliki pandagan hidup (world view) yang menjadi pijakan berfikir dan dasar berbuatnya. Pandangan hidup itu yang menentukan kebijakan pribadi yang lahir dari dirinya dan menentukan sikap dan tingkah lakunya. Tidak ada perbuatan manusia yang dapat dipisahkan dari caranya memandang alam atau dunia ini. Perbedaan pandangan hidup itu lahir dari perbedaan ideologi. Sementara ideologi lahir dari epistemologi yang digunakan dalam menalar setiap dimensi kehidupan. Panca indera, akal dan hati (intuisi) merupakan alat utama dasar-dasar pengetahuan (epistemologi).

Manusia selalu memiliki kebutuhan dasar dalam hidup, diantara kebutuhan itu adalah terhadap kepercayaan pada Tuhan. Perbedaannya disini terletak pada Tuhan yang dipersepsikan oleh masing-masing manusia. Ada yang mempersepsikan Tuhan dengan benda (materi) dan ada yang mengatakan Tuhan tidak menyerupai makhluk di dunia ini. Kepercayaan itu teraktualkan lewat ajaran-ajaran agama yang diyakini.

Ajaran agama memiliki ikatan erat dengan penganutnya, yang akan mempengaruhi dan menentukan arah hidupnya. Agama sebagai ajaran moralitas akan membimbing dan mengarahkan penganutnya menurut kehendak yang dikandungnya. Di dalamnya ada janji dan ancaman yang diberitakan bagi penganutnya. Ajaran agama itu menjadi patokan dan petunjuk hidup utama.

Islam sebagai agama paripurna, mampu menjawab segala tantangan zaman. Islam mengatur semua dimensi kehidupan manusia mulai dari ekonomi, politik, sosial-budaya dan hukum. Memang agama paripurna itu harus mampu menjawab segala tantangan zaman, ketika ada dimensi hidup yang tidak diatur dan dijelaskan makan ia gagal sebagai agama paripurna.

Kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan begitu kompleks. Olehnya Islam memiliki semua jawaban atas permasalahan yang ada. Permasalahan itu bukan secara bulat, tetapi mengatur substansi pokok pemasalahan yang ada dalam setiap diri manusia. Dalam ketatanegaraan, Islam tidak menyebutkan dasar negara itu harus Islam, tidak mengatakan bentuk pemerintahan harus republik atau kerajaan, tetapi yang diutamakan adalah substansi nilai-nilai kemanusiaan yang boleh dijabarkan dalam bentuk apapun asalkan tidak bertentangan dengan substansi ajaran Islam. Jadi silahkan bagaimana-pun dasar negara atau-pun bentuk negara asalkan substansi pelaksanaannya sesuai dengan nilai kemanusiaan atau nilai Islam. Pemaksaan mengenai simbol-simbol keagamaan, sesungguhnya akan bertentangan dengan substansi ajaran Islam.

Hubungan Negara dan Agama

Dalam perkembangan ketatanegaraan Indonesia, timbul bermacam-macam keinginan soal hubungan antara negara dan agama. Keinginan itu didasari realitas dan cita-cita yang ingin dicapai. Wacana yang berkembang cukup kompleks dengan masing-masing memiliki dasar dan pendukung. Ada yang memiliki keinginan untuk memisahkan agama dengan negara, ada juga yang menginginkan komplementaritas agama dengan negara serta ada yang ingin integratif total agama kedalam negara.

Pertama, Pemisahan antara agama dengan negara. Di dasari dengan alasan sifat agama yang melibatkan unsur-unsur non-material, unsur gaib dan peran Tuhan dalam hidup manusia. Unsur-unsur itu terus menjelma dalam aktualisasi kehidupan, yang nantinya mempengaruhi paradigma kehidupan. Kegiatannya tidak dapat dipisahkan dengan kesadaran akan keberadaan unsur-unsur yang non-material, seakan tidak ada kemandirian untuk memutuskan persoalan hidup kenegaraan.

Sementara keberadaan negara dihadapkan pada realitas masyarakat yang nyata dan majemuk. Keberadaan negara selalu dihadapkan pada realitas kehidupan yang kompleks dan nyata. Semua keberadaan dapat dianalisa melalui pendekatan-pendekatan yang konkrit dan nyata. Permasalahan kenegaraan yang nyata dapat dipecahkan dengan metode praktis yang kongkrit.

Pemaksaan agama dan simbol-simbolnya kedalam konstitusi negara akan menyebabkan kesan marjinalisasi kepada kelompok agama lain. Kesan ini juga dapat menjurus pada disintegrasi bangsa, yang membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Olehnya agama tidak mesti dimasukkan dalam bentuk nyata kedalam konstitusi negara, yang terpenting adalah substansi dari ajaran keagamaan itu yang diakui dan dilaksankan. Serta adanya kebebasan untuk menjalankan nilai-nilai keagamaan.

Kedua, Komplementaritas agama dan negara. Dalam hal ini mencoba mencari titik singgung yang menjadi penghubung antara keduanya, yang nantinya dapat melahirkan suatu perpaduan antara keduanya tanpa kehilangan substansi yang dimiliki. Masing-masing nilai berhubungan guna memenuhi tantangan perubahan.

Penyatuan ini misalnya dengan “Nasionalisme Islam”, yang merupakan kolaborasi antar kelompok nasionalis-sekuler dengan kelompok religius. Penyatuan itu tetap tidak kehilangan substansi yang ada, tetapi berusaha menyatukan gerak dalam mencapai cita-cita. Penyatuan itu sebagai hasil perkembangan prinsip demokrasi yang memberikan kebebasan untuk menentukan pilihan hidup.

Sifat Islam yang lentur dan tidak kaku, memungkinkan penyatuan itu tergantung kondisi lokal-obyektif. Pemaknaan itu didasarkan nilai keIslaman yang bersifat substansi dalam segala aspek kehidupan. Dalam bentuk apapun suatu konstitusi asal muatannya tidak bertentangan atau mengadopsi ajaran substansi dari Islam.

Keinginan itu jelas beralasan, dengan tidak adanya konsensus yang berlaku umum akan bersatunya agama dan politik negara. Masing-masing penganut ajaran Islam di negara-negara diberi kebebasan untuk menentukan alur politiknya. Memang tidak dapat dipungkiri akan pemikiran tidak dapat dipisahkan dengan nilai agama yang melingkupinya. Olehnya, penguasaan terhadap parlemen negara menjadi kebutuhan untuk menyalurkan aspirasi politik dengan haluan pemikiran nilai-nilai Islam.

Ketiga, Integratif total agama kedalam negara. Dalam hal ini agama menjiwai pelaksanaan kekuasaan ketatanegaraan. Kebijakan yang dihasilkan selalu mencerminkan nilai tertinggi dari agama dengan orientasi total pada janji-janji Tuhan. Konstitusi negara tidak dapat dipisahkan dengan substansi Al-Quran dan Hadits. Ajaran-ajaran ke-Tuhanan menjadi petunjuk utama dalam menjawab segala tantangan zaman kenegaraan.

Iran adalah salah satu contoh negara yang menggunakan nilai-nilai Islam sebagai dasar bergeraknya negara. Islam menjadi roh kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pelaksana kekuasaan negara. Segala kebijakan dan perkembangan zaman selalu di perhadapakan dengan substansi ajaran Islam untuk menjawabnya. Islam di pahami bukan hanya sebagai ibadah ritual, tetapi juga sebagai ajaran yang mengatur semua dimensi hidup manusia. Penempatan Islam sebagai ajaran paripurna, menjadikannya sebagai kiblat dan petunjuk dalam mengaruhi kehidupan bernegara.

Dalam integratif total agama dan negara, hak-hak politik yang diakui antara lain, hak memilih dan hak kontrol rakyat (pengawasan). Didalamnya terdapat kebebasan warga negara untuk menggunakan haknya dalam memilih kepala negara. Siapa saja yang mereka pilih maka itu menjadi sah dan memiliki kekuatan hukum kuat dan tetap. Jadi kepala negara adalah seorang yang dipilih dan disetujui oleh rakyat dan kekuasaannya berasal dari kerelaan dan pemilihan itu. Hak memilih kepala negara itu di dasarkan prinsip musyawarah yang telah di tetapkan oleh hukum Islam.

Sementara hak kontrol rakyat atau pengawasan, umat atau rakyat memiliki hak untuk mengawasi kepala negara dan seluruh pejabat dalam semua pekerjaan dan tingkah laku mereka yang menyangkut urusan negara. Umat atau rakyat mendapat hak ini karena hubungannnya dengan kepala negara sangat erat, yang hubungan wakil dengan orang yang diwakilkan.

Hak pengawasan ini dimaksudkan untuk meluruskan kepala negara jika ia menyimpang dari jalan yang lurus, jalan Islam dalam memerintah. Mengontrol kepala negara dan semua penguasa sangat dipelihara pada masa awal Islam. Kebanyakan para kepala negara meminta untuk mengawasi dan mengevaluasi mereka. Dalam kaitan dengan hak kontrol (pengawasan). Nabi Muhammad Saw bersabda, “Agama itu adalah nasihat, kami berkata :untuk siapa?. Nabi berkata :untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemimpin umat Islam dan orang awam.”



§ Penulis Adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara (HTN) Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah.

[1] Taufiqurrahman Syahuri, Hukum Konstitusi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2002, hlm 28.

[2] H. Dahlan Thalib, dkk. Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 31.

[3] Ibid, hlm 32.

[4] Ibid, hlm 41.