Thursday, January 8, 2009

Massa Aksi Protes Israel Mengacak-acak KFC

Sumber ; Radarsulteng.com Jumat, 9 Januari 2009

PALU – Aksi demonstrasi mengutuk aksi brutal negara Zionis Isreal di tanah Palestina, kemarin (8/1) kembali diwarnai kericuhan. Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Peduli Palestina (FSPP) mengacak-acak restoran cepat saji, Kentucky Fried Chicken (KFC) Hasanuddin. Tarang saja aksi itu memantik reaksi dari beberapa aparat kepolisian yang mengawal aksi. Amatan media ini, tercatat terjadi tiga kali insiden yang nyaris berbuntut bentrok.

Insiden pertama saat pihak KFC menolak memenuhi tuntutan para demonstran agar menutup waralaba fast food asal Amerika itu. “Kami hanya meminta agar KFC menutup usahanya untuk sementara selama tiga hari. Ini sebagai simbol keprihatinan terhadap serangan brutal Israel yang juga sekutu Amerika di bumi Palestina,” teriak salah seorang perwakilan demonstran yang memasuki KFC. Namun, proses negosiasi berjalan alot. Tak jarang, antara perwakilan massa dan polisi terlibat adu mulut.

Merasa tuntutan mereka diabaikan, para perwakilan demonstran ini kemudian langsung menggeser dan menumpuk kursi-kursi dan meja di restoran itu. Kendati demikian, aparat kepolisian tampak hanya memerhatikan aksi para perwakilan demonstran itu. Tak hanya kursi dan meja di lantai satu saja yang diacak-acak, hal serupa juga mereka lakukan di lantai dua. Bahkan, salah seorang perwakilan demonstran melemparkan sebuah kursi dari lantai dua. Sementara beberapa orang di antara ratusan massa yang berada di luar KFC, langsung mengambil kursi itu dan merusaknya.

Kontan aksi itu memicu reaksi dari salah seorang anggota Propam Polres Palu. Saat oknum demonstran itu akan melemparkan kembali kursi kedua, anggota Propam itu dengan sigap menariknya kemudian menyuruh massa yang berada di lantai dua untuk turun. Insiden kedua terjadi ketika Kapolres Palu, AKBP AB Sitinjak mengejar salah seorang demonstran. Pengejaran itu bukan tanpa alasan, oknum demonstran itu sempat menendang pintu keluar KFC.

Meski begitu, insiden itu tidak menimbulkan kericuhan karena ternyata Kapolres hanya ingin memeringati oknum tersebut agar tidak anarkis. Sedangkan insiden terakhir terjadi ketika, salah kayu pengikat bendera salah satu organisasi ditarik oleh sejumlah polisi. Pasalnya, kayu itu telah merusak list plang KFC. Aksi ‘pendudukan’ KFC itu baru berakhir setelah penanggung jawab KFC Hasanuddin sepakat menutup usahanya hingga hari ini.

Setelah puas ‘menduduki’ KFC, ratusan massa yang sebagian besar terdiri dari pelajar dan mahasiswa ini kemudian bergerak ke DPRD Sulteng, dan akhirnya membubarkan diri. (ato)

Massa Aksi Protes Israel Mengacak-acak KFC

Sumber ; Radarsulteng.com Jumat, 9 Januari 2009

PALU – Aksi demonstrasi mengutuk aksi brutal negara Zionis Isreal di tanah Palestina, kemarin (8/1) kembali diwarnai kericuhan. Ratusan massa yang tergabung dalam Forum Solidaritas Peduli Palestina (FSPP) mengacak-acak restoran cepat saji, Kentucky Fried Chicken (KFC) Hasanuddin. Tarang saja aksi itu memantik reaksi dari beberapa aparat kepolisian yang mengawal aksi. Amatan media ini, tercatat terjadi tiga kali insiden yang nyaris berbuntut bentrok.

Insiden pertama saat pihak KFC menolak memenuhi tuntutan para demonstran agar menutup waralaba fast food asal Amerika itu. “Kami hanya meminta agar KFC menutup usahanya untuk sementara selama tiga hari. Ini sebagai simbol keprihatinan terhadap serangan brutal Israel yang juga sekutu Amerika di bumi Palestina,” teriak salah seorang perwakilan demonstran yang memasuki KFC. Namun, proses negosiasi berjalan alot. Tak jarang, antara perwakilan massa dan polisi terlibat adu mulut.

Merasa tuntutan mereka diabaikan, para perwakilan demonstran ini kemudian langsung menggeser dan menumpuk kursi-kursi dan meja di restoran itu. Kendati demikian, aparat kepolisian tampak hanya memerhatikan aksi para perwakilan demonstran itu. Tak hanya kursi dan meja di lantai satu saja yang diacak-acak, hal serupa juga mereka lakukan di lantai dua. Bahkan, salah seorang perwakilan demonstran melemparkan sebuah kursi dari lantai dua. Sementara beberapa orang di antara ratusan massa yang berada di luar KFC, langsung mengambil kursi itu dan merusaknya.

Kontan aksi itu memicu reaksi dari salah seorang anggota Propam Polres Palu. Saat oknum demonstran itu akan melemparkan kembali kursi kedua, anggota Propam itu dengan sigap menariknya kemudian menyuruh massa yang berada di lantai dua untuk turun. Insiden kedua terjadi ketika Kapolres Palu, AKBP AB Sitinjak mengejar salah seorang demonstran. Pengejaran itu bukan tanpa alasan, oknum demonstran itu sempat menendang pintu keluar KFC.

Meski begitu, insiden itu tidak menimbulkan kericuhan karena ternyata Kapolres hanya ingin memeringati oknum tersebut agar tidak anarkis. Sedangkan insiden terakhir terjadi ketika, salah kayu pengikat bendera salah satu organisasi ditarik oleh sejumlah polisi. Pasalnya, kayu itu telah merusak list plang KFC. Aksi ‘pendudukan’ KFC itu baru berakhir setelah penanggung jawab KFC Hasanuddin sepakat menutup usahanya hingga hari ini.

Setelah puas ‘menduduki’ KFC, ratusan massa yang sebagian besar terdiri dari pelajar dan mahasiswa ini kemudian bergerak ke DPRD Sulteng, dan akhirnya membubarkan diri. (ato)

Wednesday, January 7, 2009

Lawan Kekejaman Zionis Israel Di Palestina

















Kami Dibunuh, Dibantai, Kami Meratap, Merintih dan Kesakitan


Tolak UU BHP Sekarang Juga!! Kembalikan Kampus Sebagai Institusi Pencerdasan

Analisis Front Mahasiswa Nasional (FMN)


I. Krisis Umum Impersialisme

Kelahiran kapitalisme di dunia dilatarbelakangi oleh sejarah perampasan atas alat produksi untuk mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Sifat dasar dari kapitalisme yang ekspansif, akumulatif dan eksploitatif telah menyebabkan kesengsaraan yang besar di seluruh dunia hingga saat ini. Tahap perkembangan kapitalisme yang paling tinggi yaitu imperialisme yang sekarang mendominasi sistem dunia telah menyebabkan penindasan yang paling keji dalam peradaban manusia melalui perang dan perampokan besar-besaran atas sumber-sumber kehidupan rakyat di seluruh dunia. Dari keserakan imperialisme ini telah mengakibatkan terpusatnya modal di segelintir korporasi besar dunia. Namun dimulai dari sinilah lahir berbagai krisis yang menimpa dunia maupun krisis di dalam tubuh imperialisme sendiri. Konsep kapitalisme adalah konsep keserakahan yang hanya akan melahirkan krisis yang semakin tajam di seluruh dunia.

Kini, krisis itu kembali terjadi di jantung imperialisme AS. Krisis yang dipicu oleh kredit macet perumahan kelas dua (subprime mortgage) telah menyebabkan kebangkrutan sektor-sektor ekonominya dan menyeret dunia di dalam krisis yang akan semakin menajam ditandai dengan merosotnya harga saham-saham dunia, kebangkrutan raksasa keuangan dunia (seperti Lehman Brothers, AIG dll) dan perusahaan-perusahaan otomotif berkelas dunia (seperti Toyota dll). Dalam setiap perkembangan krisis imperialisme yang pernah terjadi di dunia hanya melahirkan semakin intensifnya penindasan dan perampokan terhadap sumber-sumber penghidupan bagi rakyat di seluruh dunia. Penindasan yang dilakukan oleh imperialisme di negara-negara jajahan dan setengah jajahannya hanyalah dimaksudkan untuk menyelamatkan negara imperialisme dari lubang krisis yang diciptakannya sendiri karena over produksi dan penyempitan pasar sebagai imbasnya. Mereka akan berupaya keras memutarkan modalnya di negeri jajahan dan setengah jajahan agar mereka dapat menguasai sumber-sumber kekayaan alam, pasar dan sumber tenaga kerja yang murah. Karena jika modalnya tidak berputar dan tidak menghasilkan keuntungan (super provit) kembali, maka bagi kaum imperialisme modal tersebut hanyalah sesuatu yang tidak berguna dan menyebabkan kerugian.

Mekanisme perputaran modal yang dilakukan pun dilakukan dalam berbagai macam misalnya utang dan investasi. Bagi negara setengah jajahan dan setengah feodal seperti indonesia, keberadaan utang dan penanaman investasi asing di berbagai sektor ekonomi dan jasa merupakan berkah tersendiri bagi para borjuasi komprador di Indonesia. Di mana dia akan berjuang mati-matian agar bisa mendapatkan kucuran dana utang dan investasi tersebut dengan menggadaikan kekayaan alam dan sosialnya kepada tuan imperialisnya. Hasilnya adalah dibukanya Indonesia kepada para investor asing besar disertai dengan jaminan keamanan yang berlebihan agar para investor tidak lari. Berbagai kebijakan atau regulasi juga digulirkan untuk memuluskan jalannya investor masuk ke Indonesia dengan syarat-syarat yang terus dipermudah. Bagi rejim komprador SBY-Kalla, investor yang masuk ke Indonesia baginya merupakan syarat-syarat pertumbuhan ekonomi yang sebenarnya bagi kita hanya mengakibatkan pengangguran semakin tinggi, lapangan pekerjaan yang semakin menyempit, perampasan sumber penghidupan bagi buruh dan tani yang semakin masif, PHK massal, politik upah murah, pendidikan yang mahal dan tidak ilmiah serta pengekangan terhadap hak berbicara dan berorganisasi bagi gerakan rakyat yang ada. Utang yang diberikan pun bukan tanpa syarat. Biaya pengembalian utang dan bunga-bunganya menjadi beban berat dalam APBN kita, karena sepertiga lebih anggaran kita untuk membayar utang yang sebenarnya tidak memberikan manfaat sama sekali bagi rakyatnya. Belum lagi syarat-syarat yang disertakan oleh lembaga keuangan dunia yang lebih banyak telah menyebabkan adanya liberalisasi sektor-sektor vital di Indonesia.

Wilayah penanaman investasi makin lama makin meluas, dilihat dari sisi kualitas maupun kuantitasnya. Sektor-sektor publik, yang mana negara mempunya kewajiban konstitusional untuk memenuhinya sebagai bagian dari hak dasar warga negara, juga dimasukkan dalam daftar sektor jasa yang dapat diperdagangkan. Perkembangan terkini yang semakin mengancam hancurnya pendidikan indonesia adalah disahkannya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 17 Desember 2008 kemarin.

II. Sejarah Suram Lahirnya UU BHP

Disahkannya Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan bukan tanpa proses perlawanan dan penolakan dari banyak kalangan yang menginginkan adanya kemajuan di bidang pendidikan kita, terutama dari kalangan mahasiswa. Sejak awal perumusan Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP) telah menuai kontroversi. Hal ini disebabkan karena UU BHP dirancang tidak terlepas dari kepentingan asing negeri-negeri imperialis untuk melakukan proses liberalisasi sektor pendidikan di Indonesia. Dalam kesepakatan untuk kucuran utang (Letter of Intent/LoI) dari dana Moneter Internasional (IMF) tahun 1999, terdapat kesepakatan bahwa pemerintah harus mencabut subsidi subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Hal ini yang membuat masyarakat menanggung biaya pendidikan dan kesehatan terlalu mahal di luar kemampuan mayoritas penduduk Indonesia. Padahal jelas dalam UUD 1945 pasal 31 bahwa pemerintah wajib membiayai pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN/APBD.

Melalui Bank Dunia (World Bank/WB), pemerintah Indonesia telah mendapatkan kucuran dana utang 114,54 dollar AS untuk membiayai program Indonesia Managing Higher Education For Relevance And Efficiency (IMHERE) yang disepakati juni 2005 dan berakhir 2011. Program ini bertujuan untuk mewujudkan otonomi perguruan tinggi, efisiensi dan relevansi perguruan tinggi dengan kebutuhan pasar. Dari program inilah lahir sebuah rancangan UU BHP. Karena Bank Dunia menganggap anggaran pendidikan terlalu banyak menyedot anggaran di APBN sehingga harus dipangkas subsidinya. Pemangkasan tersebut meliputi juga anggaran untuk guru dan dosen.

Selain itu, sejak tahun 2001 pemerintah Indonesia telah meratifikasi Kesepakatan Bersama Tentang Perdagangan Jasa (General Agreement On Trade And Service/GATS) Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) di mana pendidikan dimasukkan menjadi salah satu dari 16 komoditas (barang dagangan). Dengan demikian, para investor kemudian bisa menanamkan investasinya di sektor pendidikan (terutama untuk pendidikan tinggi).

Skema ini, kemudian diuji cobakan di 8 universitas negeri besar di indonesia yaitu UI, ITB, IPB, UPI, USU, Unair dan Undip dalam bentuk perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN BHMN. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 tentang Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum (PP No. 60/61 tahun 1999) menjadi payung hukum dalam menjalankan pem-BHMN-an di 8 universitas negeri terbesar tersebut.

Pemberlakukan BHMN terhadap 8 perguruan tersebut ternyata tidak membawa dampak yang signifikan terhadap perubahan kualitas pendidikan Indonesia. UI, UGM, ITB dan IPB tetap tidak berubah di posisi di bawah 250 universitas terbaik di dunia. Malaysia yang kualitas pendidikannya di bawah Indonesia pada era Soekarno telah jauh meninggalkan Indonesia. Bahkan kualitas pendidikan Indonesia masih kalah jauh dari Vietnam yang baru saja membangun negaranya pasca perang Vietnam tahun 1975.

Selain itu, Universitas BHMN yang diharapkan akan menjadi cetak biru dari pelaksanaan UU BHP ternyata hanya menyisakan mahalnya biaya pendidikan di perguruan tinggi serta aktifitas bisnis yang dilakukan di sebuah institusi pendidikan. Dimulai dari adanya kenaikan SPP, pungutan-pungutan liar yang mendapatkan legitimasi dari kampus, pembukaan jalur khusus bagi mereka yang mempunyai kekayaan yang cukup dan tentu saja inilah yang menyebabkan kuota untuk calon mahasiswa dari kalangan menengah ke bawah yang masuk melalui jalur SPMB menjadi semakin sedikit. Aktifitas untuk mendapatkan keuntungan lebih juga dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjaringan para investor dalam bentuk perjanjian utang, penanaman investasi untuk mendirikan unit yang komersil (seperti asrama untuk mahasiswa, persewaan gedung, toko waralaba dll) maupun hibah-hibah dengan syarat-syarat. Pun, dengan semakin mahalnya biaya pendidikan masih tidak menjamin mahasiswanya untuk menggunakan fasilitas dengan bebas. Terkadang mereka harus membayar sejumlah uang yang tidak sedikit jumlahnya serta dengan prosedur yang berbelit untuk bisa mengakses fasilitas yang ada di dalam kampus.

Dengan adanya perjanjian perdagangan tersebut, telah mengakibatkan juga subsidi untuk pendidikan dipangkas. Alokasi anggaran pendidikan dari APBN sejak jaman pemerintahan SBY-Kalla tidak pernah mencapai target minimal 20% sesuai dengan amanat konstitusi. Tahun 2008, anggaran pendidikan hanyalah 10% saja. Bahkan dia merevisi sendiri kebijakannya di perumusan rancangan APBN tahun 2009 dengan memasukkan gaji dan kesejahteraan untuk guru dan dosen serta biaya riset dan penelitian ke dalam sektor pembiayaan pendidikan dalam anggaran 20% dari APBN untuk mengelabui rakyatnya bahwa anggaran pendidikan telah mencapai target konstitusi. Hal ini merupakan sebuah kefrustasian pemerintah SBY – Kalla atas ketidakmauan dan ketidakmampuan mereka dalam mengalokasikan anggaran pendidikan 20%.

Pengesahan UU BHP ini juga tidak lepas dari adanya mandat dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU Sisdiknas tersebut telah mengamanatkan dalam pasal 53 untuk membuat undang-undang tentang badan hukum pendidikan. Undang-undang ini merupakan sebagai bentuk paling vulgar dari lepasnya tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahwa pendidikan kemudian akan menjadi tanggung jawab bersama atara pemerintah dengan masyarakat.

III. Filosofis BHP Tidak Lebih Dari Upaya Lepasnya Tanggung Jawab Negara Atas Pendidikan

Dalam pembukaan UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa menjadi tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan ditegaskan kembali dalam pasal 31, bahwa setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pemerintah wajib untuk membiayainya. Namun, selama ini kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerinta SBY-Kalla selalu berkontradiktif dengan produk hukum tertinggi Indonesia yaitu konstitusi. Semangat yang lahir dari pengesahan UU BHP adalah untuk mendapatkan keuntungan bagi para investor dan borjuasi-borjuasi komprador serta para akedemisi yang mengabdikan ilmunya kepada kepentingan imperialis. Di lain sisi merupakan sebuah bentuk lepasnya tanggung jawab konstitusional negara untuk memenuhi dan menanggung pendidikan warga negaranya.

Latar belakang dari pengesahan UU BHP ini sudah sedemikian buruknya, yaitu melalui ratifikasi perjanjian perdagangan dunia dan mendapatkan payung hukumnya dalam UU Sisdiknas yang telah menuai protes secara luas dari banyak kalangan, maka apapun bentuknya dengan beberapa kali perubahan draf rancangan tetap tidak akan menghilangkan hakekat dari pengesahan UU BHP. Yaitu adanya komersialisasi dan privatisasi pendidikan. Penyelenggaran pendidikan kemudian hanya dinilai sebagai aktifitas perdagangan dan miniatur sebuah perusahaan lengkap dengan hubungan industrialnya. Karena sekali lagi, dengan dinamakannya Badan Hukum maka orientasinya adalah bagaimana mendapatkan keuntungan dari aktifitas yang dilakukan. Dengan demikian yang dinamakan sebagai badan hukum pendidikan adalah sebuah badan hukum yang mencari keuntungan lewat aktifitasnya dengan alasan pendidikan.

UU BHP kemudian hanya akan melahirkan diskriminasi terhadap warga negaranya. Terutama dilihat dari sisi kemampuan akademisnya dan kemampuan keuangannya. Padahal, sekali lagi dalam konstitusi kita ketika menyebutkan warga negara Indonesia adalah setiap individu berwarganegara Indonesia tanpa pandang bulu. Semakin miskin seorang individu maka aksesnya atas pendidikan akan semakin sempit dan terbatas.

Guru ataupun dosen akan kehilangan maknanya sebagai seseorang yang bertanggungjawab untuk membentuk pribadi peserta didiknya dan hanya dinilai sebagai pendidik dan tenaga kependidikan yang tunduk dan patuh dalam perjanjian kerja yang dibuat antara pendidikan dan tenaga pendidikan dengan pihak organ pengelola BHP (baik BHP Pemerintah, BHP Pemerintah Daerah, BHP Masyarakat dan BHP Penyelenggara).

Dalam UU BHP ini, institusi pendidikan tinggi kemudian diperbolehkan untuk melakukan praktek komersil dengan mendirikan sebuah badan usaha mandiri ataupun membuat perjanjian investasi dalam bentuk fortofolio untuk menutup kekurangan dari biaya pendidikan yang tidak ada jaminannya akan diperoleh dari mana (selain dari pemerintah dan peserta didik).

IV. Pasal-pasal UU BHP Menegaskan Komersialisasi dan Privatisasi Pendidikan

Alasan yang dikemukakan di atas tidaklah berlebihan jika dilihat dari pasal-pasal yang menyusun UU BHP tersebut. Karena mengelola sebuah institusi pencerdasan bangsa disamakan dengan mengelola sebuah perusahaan yang bertujuan mencari keuntungan. Mari kita akan mediskusikan bersama-sama dari draf terakhir yang disahkan sebagai UU BHP.

Bahwa dalam konsideran menimbang dalam huruf a disebutkan bahwa untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional bedasarkan Pancasila dan UUD RI tahun 1945, diperlukan otonomi dalam pengelolaan pendidikan formal dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah pada pendidikan dasar, menengah serta otonomi perguruan tinggi pada pendidikan tinggi. Dalam penjelasan UU BHP dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi perguruan tinggi adalah kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya. Dengan demikian istilah manajemen berbasis sekolah/madrasah dan otonomi perguruan tinggi adalah kata lain dari lepasnya negara atas kewajibannya memenuhi hak pendidikan warga negaranya.

Pasal 11 menyebutkan bahwa syarat untuk pendirian sebuah BHP dalam ayat 1 huruf d adalah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Dan jumlah dari kekayaan yang dimiliki oleh BHP harus mencukupi untuk biaya investasi dan biaya operasional pendidikan. Dengan demikian, sedari awal pendirian BHP adalah untuk berbisnis (=investasi). Maraknya pungutan-pungutan liar, pembukaan jalur khusus serta perjanjian kerjasama dalam bentuk investasi dan utang luar negeri yang dilakukan oleh perguruan tinggi sekarang ini adalah sebagai bentuk untuk mengejar target jumlah kekayaan awal yang harus dimiliki oleh perguruan tinggi sebagai biaya investasi dan operasional.

BAB IV tentang tata kelola sebuah BHP menyebutkan struktur organ pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai kalangan. Struktur ini mencerminkan struktur sebuah perusahaan terbuka, anggaran dasar sebuah BHP dibuat oleh pendiri. Masing-masing mempunyai fungsi untuk akademik dan non-akademik. Dengan melihat pembedaan fungsi ini saja terlihat bahwa selain menjadi institusi pendidikan, BHP bakal menjadi lembaga komersil.

BAB V mengenai kekayaan, sudah dijelaskan sebelumnya bahwa sebuah BHP harus mempunyai sejumlah kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendiri. Kekayaan ini dalam BHP ini didapatkan dari jumlah kekayaan awal dan pendapatan yang didapatkan (baca provit dari aktifitas komersil). Bentuk kekayaan ini adalah uang dan barang yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya adalah hak kekayaan intelektual. Bayangkan jika dosen dan mahasiswa yang melakukan riset kemudian hasilnya dipatenkan dan digunakan untuk kepentingan komersil pihak kampus, bukan untuk memajukan taraf kehidupan rakyat dan memajukan tenaga produktif indonesia?

BAB VI kemudian mengatur tentang pendanaan. Disebutkan dalam pasal 40 ayat 2 bahwa pendanaan pendidikan formal yang diselenggarakan badan hukum pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Bagaimana kemudian negara membatasi kewajibannya dalam hal pendanaan di UU BHP ini? Secara singkat akan dijelaskan dalam tabulasi berikut ini :

Jenis BHP dan Biaya Pendidikan

Investasi

Beasiswa

Bantuan Dana Pendidikan

Operasional

Keterangan

BHPP/BHPPD Pendidikan Dasar

Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Ditanggung sepenuhnya oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Menunjukkan bahwa pendidikan dasar akan digratiskan. Namun hal ini sudah diatur dalam UU Sisdiknas. Dalam prakteknya, belum semua pendidikan dasar digratiskan. Alasan yang dikemukakan oleh pemerintah adalah ketidakcukupan dana.

BHPP/BHPPD Pendidikan Menengah

Idem

Idem

Idem

Ditanggung sepertiganya

Jika biaya operasional hanya ditanggung sepertiganya, maka dari mana jenis BHP ini akan mendapatkan dana kecuali dari siswanya? Meskipun disebutkan bahwa peserta didik maksimal hanya menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan sebesar sepertiga. Namun, karena tidak ada sumber dana yang lain, kecuali bantuan dari masyarakat yang tidak bisa dipastikan jumlah dan keberlanjutannya, atau dari pinjaman yang tentu saja harus dibayar. Dan tetap kemudian peserta didik yang nanti akan dikorbankan.

BHPP Pendidikan Tinggi

Idem

Idem

Idem

Ditanggung seperduanya oleh pemerintah dan BHPP.

Hal ini tentu akan semakin memberatkan peserta didik karena belum tentu investasi yang dilakukan oleh BHPP akan menghasilkan dana yang cukup untuk memenuhi pendanaan pendidikan. meskipun di sisi lain mahasiswa ditetapkan hanya menanggung maksimal sepertiga dari biaya penyelenggaraan pendidikan, namun dalam prakteknya selama ini tetap berkata lain.

BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Dasar

Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

Ditanggung Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya

Tidak diatur dengan tegas ditunjukkan dengan kata sesuai dengan kewenangannya dan menunjukan pendiskriminatifan. Padahal dalam UU sudah diatur bahwa Wajar DikDas adalah tanggung jawab negara

Dana pendidikan yang diberikan pun dalam bentuk hibah sesuai dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah dan pemerintah daerah.

BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Menengah

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur dan menunjukan pendiskriminatifan. Dimana letak hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan yang layak?

BHPM/BHP Penyelenggara Pendidikan Tinggi

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Tidak diatur

Idem

Keterangan :

BHPP : Badan Hukum Pendidikan Pemerintah yang didirikan oleh pemerintah pusat

BHPPD : Badan Hukum Pendidikan Pemerintah Daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah

BHPM : Badan Hukum Pendidikan Masyarakat yang didirikan oleh Masyarakat

BHP Penyelenggara : Badan Hukum Pendidikan Penyelenggara, yang didirikan masyarakat dan sudah ada sebelumnya.

Kesimpulan dari tabulasi di atas adalah bahwa pemerintah hanya akan menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan dasar dengan sepenuhnya. Sedangkan untuk penyelenggaraan pendidikan formal menengah dan pendidikan tinggi hanya dibatasi masing-masing sepertiga dan seperdua untuk biaya operasional.

Pemberian dana pendidikan untuk pendidikan menengah diberikan kepada BHPP dan BHPD saja sedangkan untuk BHPM dan BHP penyelenggara tidak ada kepastian dana dari pemerintah dan pemerintah pusat. Sedangkan untuk penyelenggaran pendidikan tinggi, hanya disebutkan penyelenggaraan pendidikan tinggi BHPP (yang dibentuk oleh pemerintah pusat saja). Dengan demikian karena untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh BHPM dan BHP Penyelenggara tidak mendapatkan kepastian dana pendidikan dari pemerintah pusat. Padahal, jumlah dari perguruan tinggi swasta di Indonesia sekitar 2.700 an. Jauh lebih banyak dari pada jumlah perguruan tinggi negeri yang jumlahnya hanya 83 perguruan tinggi. Siapa kemudian yang akan menanggung biaya pendidikan tinggi berupa biaya investasi, biaya bantuan pendidikan, beasiswa dan biaya operasional 2.700 perguruan tinggi swasta tersebut?

Kekurangan dana yang belum dipenuhi, kemudian akan didapatkan dari mana? Jika didapatkan dari masyarakat dalam bentuk hibah maka tidak ada jaminan akan didapatkan secara penuh. Maka kemudian BHP penyelenggara pendidikan menengah dan tinggi akan mencari kekurangan dananya dengan memutar uang dalam bentuk kegiatan yang komersil. Bahkan dengan jelas diatur dalam pasal 42, bahwa BHP untuk pendidikan tinggi dapat melakukan investasi dalam bentuk fortofolio (perjanjian kerja sama ataupun utang). Dan di pasal 43, bahwa BHP penyelenggara pendidikan tinggi dapat mendirikan sebuah badan usaha berbadan hukum. Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan keuntungan dan tambahan biaya.

Hakekatnya adalah kemudian antar BHP akan saling bersaing untuk dapat mempertahankan dominasinya berdasarkan pada kekuatan modal yang dimilikinya melalui aktifitas investasi dan badan usaha berbadan hukum. Siapa yang mempunyai modal yang kuat dialah yang akan bertahan. Yang tidak mempunyai cukup modal kemudian akan dinyatakan pailit (rugi) dan dapat dibubarkan atau dilakukan merger dan akuisisi dengan alasan aset yang dimilikinya tidak cukup untuk membayar tanggungan biaya investasi dan operasionalnya. Konsep yang diterapkan sama persis dengan konsep pasar bebas. Hal ini merupakan bentuk paling kongkrit dari kebingungan dari pemerintahan untuk menutupi dana penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya dengan penuh. Bahkan pemerintah juga menjanjikan adanya kemudahan berupa insentif pajak kepada masyarakat yang memberikan hibah kepada BHP. Sebuah upaya suap agar masyarakat mau ikut serta menanggung biaya pendidikan.

Hal yang lebih memilukan lagi adalah adanya ketetapan dalam pasal 46 huruf a bahwa badan hukum pendidikan wajib menjaring dan menerima warga negara indonesia yang memiliki potensi tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. Kemudian di huruf b disebutkan badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi (artinya hanya orang-orang miskin yang pintar dan orang-orang yang pintar saja yang menerima beasiswa, red) paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik. Di perguruan tinggi, bantuan yang diberikan kepada mahasiswanya dapat berupa beasiswa, bantuan biaya pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada mahasiswa. Pemberian pekerjaan ini tentu saja akan mengakibatkan terciptanya tenaga kerja murah di unit-unit badan usaha berbadan hukum yang dimiliki oleh pendidikan tinggi. Meskipun demikian, yang miskin dan kemampuan akademis terbatas tidak akan pernah mendapatkan haknya atas pendidikan. Dan secara tidak langsung pemerintah telah melakukan diskriminasi dan pelanggaran hak warga negaranya secara tersistemik melalui regulasi yang dibuatnya.

Peraturan hubungan industrial diberlakukan untuk mengatur hubungan kerja antara pendidik dan tenaga kependidikan dengan pemimpin organ pengelola BHP melalui perjanjian kerja yang dilakukan. Ini ditegaskan dalam pasal 55 huruf c, perjanjian kerja tersebut dilakukan oleh pendidik dan tenaga kependidikan yang berstatus sebagai PNS ataupun pegawai BHP. Jika terjadi konflik diantara keduanya maka akan diselesaikan dengan mekanisme yang diatur dalam AD/ART BHP. Ini sama dengan pemberlakukan sistem bipartit antara buruh dan pengusaha dalam menyelesaikan perselisihan di antara keduanya. Selain itu, jika terjadi pembubaran BHP, maka pendidik dan tenaga pendidik yang berstatus PNS akan dikembalikan kepada instansi induknya sedangkan yang berstatus pegawai BHP akan diupayakan untuk dikembalikan hak-haknya. Instansi induknya (Depdiknas ataupun Depag) kemudian hanya akan berfungsi seperti perusahaan outsourching. Dan pegawai BHP hanya akan dinilai sebagai pekerja kontrak saja.

Tata kelola seperti yang dimaksud dalam UU BHP ini kemudian akan ditetapkan oleh seluruh penyelenggaraan pendidikan mulai tingkat dasar, menengah dan tinggi paling lambat 4 tahun sejak ditetapkannya UU BHP ini. Seluruh undang-undang yang diperlukan untuk menjalankan UU BHP ini akan ditetapkan paling lambat 2 tahun sejak UU ini diundangkan. Maka tinggal menunggu kehancuran pendidikan kita setelah lonceng kematiannya dibunyikan yaitu dengan disahkannya UU BHP ini. Kecuali, ada upaya yang keras bagi gerakan massa demokratik di Indonesia untuk melakukan aksi-aksi solid dan meluas untuk menolak pengesahan dan menuntut untuk pembatalan UU BHP ini.

V. Imbas UU BHP, Penghancuran Kampus Sebagai Institusi Pencerdasan

Pemberlakukan UU BHP ini pada dasarnya hanya akan menambah represifitas dan pengekangan terhadap proses demokratisasi kampus. Pemukulan terhadap aksi-aksi penolakan pengesahan UU BHP di kampus-kampus di Indonesia seolah menjadi tumbal yang mahal demi pengesahan UU yang sangat anti rakyat ini.

Akan terjadi perubahan orientasi pengelolaan kampus, yaitu akan lebih banyak mengurusi soal investasi dan usaha komersilnya untuk mendatangkan keuntungan agar tidak kalah bersaing dan tidak diakuisis ataupun dimerger oleh BHP yang lain. Selain itu, bukan tidak mungkin jika seluruh fasilitas yang ada di kampus nantinya akan dikomersilkan meskipun kita sudah membayar mahal untuk setiap semesternya. Biaya pendidikan di kampus akan semakin mahal dan dapat dipastikan bahwa yang mampu mengaksesnya adalah dari kalangan menengah ke atas. Mereka kemudian terdorong pula bagaimana menggunakan keahliannya untuk dapat mengembalikan biaya penddidikannya yang mahal tersebut. Orientasi pasca menjadi wisuda adalah bekerja, harus siap menjadi tenaga kerja dengan upah murah di tengah keterbatasan lapangan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya pengangguran akan semakin besar dari kalangan lulusan perguruan tinggi (DI/DII/DIII/S1) yang tahun 2008 sudah mencapai 1 juta lebih pengangguran lulusan perguruan tinggi.

Out put pendidikan kita kemudian hanya akan menghamba kepada kepentingan imperialis karena yang diajarkan di kelas-kelas hanyalah teori-teori produk imperialis yang telah usang yang hanya memberikan kebangkrutan dan kebingungan kepada mahasiswa. Riset-riset yang dilakukan oleh mahasiswa maupun dosen kemudian akan menjadi hak milik kampus untuk dipatenkan dan menjadi aset kekayaan BHP yang harapannya dapat dikomersilkan. Selain itu, riset-riset mengenai persoalan-persoalan pokok rakyat Indonesia mengenai hak atas tanah, upah dan pekerjaan bagi rakyat juga tidak akan mendapatkan ruang untuk berkembang di kampus. Ekspor tenaga kerja akan meningkat karena kepentingan investor di perguruan tinggi atas ketersediaan tenaga kerja yang murah untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan mereka.

BHP juga akan menguatkan politik upah murah yang telah ditetapkan oleh pemerintahan SBY-Kalla. Politik upah murah ini tentu saja akan ditetapkan kepada pendidik dan tenaga pendidik serta kepada mahasiswa yang dipekerjakan. Terjadi pembatasan hak atas pendidikan bagi warga negara yang mempunyai kemampuan dana dan akademis yang terbatas, karena tidak dijamin dalm UU BHP bahwa dari kalangan tersebut akan dipermudah aksesnya atas pendidikan.

VI. Tugas Pokok FMN Adalah Mengobarkan Perjuangan Di Kampus-Kampus Menolak UU BHP

Lonceng kematian pendidikan telah dibunyikan. Maka menjadi kewajiban bagi Front Mahasiswa Nasional untuk melakukan kampanye anti UU BHP secara meluas. Sebagai organisasi mahasiswa yang memperjuangkan sistem pendidikan yang ilmiah, demokratisi dan mengabdi kepada rakyat, keberadaan UU BHP adalah tidak akan mendapatkan tempat sedikitpun dalam arah perjuangan kita. UU BHP harus kita tolak!! Dengan terus lakukan kampanye dan aksi-aksi untuk membelejeti rejim SBY-Kalla yang menjadi boneka amerika dan rejim yang anti rakyat.

Jadikan kampus sebagai pusat seluruh kegiatan mahasiswa menuju kampanye penolakan UU BHP. Kampus juga sekaligus akan menjadi pusat aktifitas FMN dalam melakukan propaganda, konsolidasi dan pendidikan terhadap anggota dan massa. Dari seluruh proses inilah maka aktifitas rekruitmen di kampus juga akan dijalankan karena FMN mendapatkan tempat untuk mensolidkan barisan dan memperluas pengaruh di kampus. Kampus-kampus negeri yang besar akan menjadi sasaran utama aksi-aksi penolakan kita karena di sanalah tempat bercokolnya para akademisi-akademisi anti rakyat, selain karena jumlah mahasiswa yang besar dan mempunyai pengaruh secara luas. politik ini juga akan membantu kita untuk memperluas pengaruh di kampus-kampus kecil di sekitarnya.

Aliansi yang akan dibangun adalah aliansi luas di sektor pemuda mahasiswa, terutama dalam menggandeng lembaga-lembaga kampus untuk terlibat dalam kampanye kita. Dan perlu diketahui juga, bahwa dampak dari UU BHP ini adalah meluas. Seluruh sektor rakyat baik di buruh, tani, pemuda, mahasiswa, miskin kota, nelayan, perempuan kemudian akan terkena imbasnya. Penolakan atas UU BHP ini menjadi kepentingan seluruh elemen gerakan massa demokratis indonesia. Maka, perlu bagi kita untuk membentuk aliansi multisektor untuk memperhebat perjuangan kita atas penolakan UU BHP ini.

Tidak ada syarat-syarat sedikitpun bagi negeri setengah jajahan dan setengah feodal untuk menuju penghidupan yang lebih baik selama rejim yang berkuasa adalah regim komprador yang anti rakyat. Maka sebuah keharusan bagi kita, Front Mahasiswa Nasional, sebagai bagian dari gerakan pembebasan nasional untuk terus melakukan kampanye dan aksi-aksi menolak kebijakan yang anti rakyat dengan politik pembelejetan terhadap rejim SBY-Kalla pada hari ini.

Tolak UU BHP sekarang juga!!

Hidup pemuda mahasiswa!

Duka Poso

Oleh : Ruslan H. Husen

Tanah Poso kacau adalah luka kami,

Poso damai adalah cinta kami.

Bersatu lawan kezaliman.

Korban jiwa dan luka-luka kembali jatuh ditanah Poso, baik dari pihak keamanan maupun dari warga sipil sendiri, setelah tindakan aparat keamanan melakukan pencarian terhadap Daftar Pencarian Orang (DPO) yang diduga menjadi pelaku teror di Poso. Demikian pula pada malam hari keadaan kota Poso menjadi mencekam, menjadi kota mati setalah kerusuhan yang terjadi Senin, 22 Januari 2007.

Korban yang terparah adalah dari warga sipil Poso, dimana mereka tidak memiliki akses keluar kota Poso untuk memperoleh bantuan obat-obatan dan makanan karena setiap jalan baik darat dan laut, sungai telah diblokir oleh aparat keamanan dan masyarakat luar Kota Poso tidak diperbolehka masuk.

Celakanya lagi, keluarga korban tidak diberikan akses atau dipersulit untuk melihat korban tewas dalam bentrokan pagi tadi. Sebab korban tewas yang ada dirumah sakit berada dalam penguasaan Polisi. Sehingga sebagian masyarakat lebih memiliki mengungsi keluar kota Poso dan merawat sendiri keluarga mereka yang menjadi korban.

Keadaan semakin sulit dengan ditambah pemberitaan media massa, utamanya media elektronik melakukan pemberitaan tidak berimbang, hanya mengambil sumber berita dari pihak aparat keamanan saja, tidak mengambil sumber dari korban warga Poso itu. Sehingga seolah-olah Polisi diposisikan berhadapan dengan perusuh yang mempunyai maksud makar dan dilengkapi dengan peralatan tempur. Padahal warga sipil itu, menjadi sasaran kebrutalan dan kegagalan aparat keamanan dalam mengayomi dan menjaga masyarakatnya.

Itulah tanah Poso seolah selalu akrab dengan kerusuhan dan darah. Tanah Poso selalu diwarnai oleh tangisan dan dendam. Tempat beraksinya pihak yang ingin mencari keuntungan. Selalu menjadi sorotan berbagai pihak baik nasional maupun internasional. Kita bertanya sampai kapan Poso rusuh?, adakah kedamaian di Poso.

Tanggung Jawab Negara

Setiap warga negara termasuk warga Poso merupakan anak kandung negara Indonesia ini. Artinya negara memiliki peranan dalam melindungi dan memberikan rasa keadilan terhadap rakyatnya. Jika negara tidak mampu memberikan rasa keadilan itu, maka sering anak kandung lari dari rumah dan mencari perlindungan sendiri. Jika negara tidak mampu menegakkan hukum, maka sering warga negara akan menggunakan hukumnya sendiri agar keadilan itu tercapai.

Kasus Poso merupakan kasus yang begitu kompleks melibatkan semua kelompok baik dari kalangan Kristen, aparat keamanan, pemerintah daerah dan umat Islam sendiri. Masing-masing kasus itu didasari oleh latar belakang yang menjadi penggerak tindakan kekerasan.

Jika dilihat untuk lokal Sulawesi Tengah, kasus Kristen dengan begitu cepatnya diselesaikan misalnya kasus penembakan Pdt. Irianto Kongkoli, kasus Mutilasi tiga siswi SMU Poso, kasus penembakan Pdt. Susianti, dan yang terbaru ini adalah penangkapan 29 orang DPO yang telah menjatuhkan korban itu. Tetapi untuk kasus Islam, misalnya 16 nama yang disebutkan Tibo Cs dipengadilan sampai sekarang belum diusut sedikit-pun. Kita tentu bertanya, ada apa dengan negara ini utamanya aparat keamanan. Belum lagi tindak lanjut terhadap kasus pelanggaran HAM kasus tanah runtuh, kasus idul fitri berdarah dan banyak lagi kasus lain yang sampai saat ini hukum juga tidak kunjung tegak.

Adalah sangat patut dihormati ketika mereka-mereka yang menantikan tegaknya keadilan dan kebenaran mampu menahan diri dengan menyerahkan serta mendukung sepenuhnya proses hukum itu. Tetapi tidak dapat disalahkan juga ketika mereka melakukan tindakannya sendiri akibat hukum yang telah diperalat oleh kekuasaan Kapital. Sebab mereka mengharapkan tegaknya hukum itu adalah mimpi, jadi disitu negara tidak dapat memberikan keadilan dan kebenaran terhadap warganya.

Proyek Keamanan

Dari suatu peristiwa yang menyita perhatian publik, selalu ada saja pihak yang mencari keutungan baik dari sisi materi maupun popularitar. Kerusuhan Poso adalah ladang subur bagi pihak yang ingin mencari keuntungan. Keuntungan itu didapatkan dengan besarnya investasi negara dalam menanggulangi kasus Poso itu.

Dengan adanya kerusuhan Poso, maka dana pengamanan akan selalu mengucur kepada kantong-kantong “penjahat”. Makanya konflik di Poso selalu dipelihara agar proyek keamanan selalu ada, tanpa memperdulikan korban yang terus berjatuhanan.

Kerusuhan itu akan menjadi ladang strategis pendapatan. Sebab dana dari negara kapitalis (Amerika Serikat) untuk memberantas teroris selalu tersedia dengan jumlah yang besar. Keutungan itulah yang menggiurkan para “penjahat” dalam memelihara konflik di Poso.

Keutungan yang menimpa “penjahat” itu, hanya menjadi satu diantara sekian banyak para pihak yang bermain dalam mencari keuntungan di Poso. Kita harus bertanya atau melawan mereka itu, hanya dengan mencari keuntungan materil nyawa manusia melayang, harta benda hancur dan tangis dan dendam terus terpelihara.

Dendam Membara

Kekerasan di tanah Poso yang terus membara, bukan tanpa sebab. Hal itu lahir dari kekecewaan atas penegakan hukum, hukum menjadi suatu hal yang mahal bagi kelompok Islam, terbukti dengan kasus 16 nama yang disebutkan Tibo Cs sampai sekarang tidak ada realisasi penegakan hukumnya, kasus idul fitri berdarah dan kasus tanah runtuh juga tidak ada jalan terangnya.

Bagi mereka yang menjadi korban pembantaian dalam kasus Poso berdarah tahun 1998, 2001, dan 2002 yang didepan mata kepala sendiri melihat anggota keluarganya dibunuh, rumah tempat tinggalnya dibakar dan sempat selamat dari tindakan kerusuhan yang di timbulkan Pasukan Merah, pada awalnya mengharapkan penegakan hukum terhadap kejadian itu, tetapi jika penegakan hukum tidak kunjung tiba juga, malah hukum menjadi politisasi pihak yang berkepentingan. Maka mereka akan mencari hukum itu sendiri, tidak perduli kalau-pun harus berhadapan dengan aparat keamanan. Dalam dada telah bersemayam dendam terhadap para pelaku kekerasan Poso untuk menegakkan hukum itu sendiri.

Kejadian (22/01/2007) ini juga meruapakan kekecewaan terhadap tindakan aparat keamanan yang tebang pilih dalam penegakan hukum di Poso. Aparat keamanan yang bersenjata lengkap harus menjadi “monster pembunuh” terhadap warga sipil Poso yang mencari keadilan. Menjadi “terminator” melawan masyarakat Poso yang tidak memiliki senjata.

Kalau-pun ada korban tewas dari pihak Kepolisian, ini murni tidak bisa menjatuhkan tuduhan bahwa warga Islam Poso pelakunya. Sebab di Poso sekarang banyak pihak yang bermaian demi mencari keuntungan materi. Bisa jadi mereka itu-lah yang menyamar sebagai sipil dan menembak anggota Polisi itu hingga tewas.

Kejadian ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak, sebab dengan adanya kejadian ini dapat merangsang lahirnya kembali konflik horizontal seperti kerusuhan tahun 1998. Dengan adanya penegakah hukum yang tidak juga kunjung datang dipihak Islam, ini akan merangsang meraka melakukan pembalasan.

Tindakan aparat keamanan yang semakin menyudutkan mereka itu, ditambah dengan dendam kesumat yang telah berkarat akan berimbas dan tumpah terhadap warga Kristen.

Harapan

Dengan adanya kejadian ini membuktikan ada ketidak-adilan di Poso, ada persoalan yang belum terselesaikan hingga merembet ke dalam tindakan “menegakkan hukum sendiri”. Kasus pembantaian terhadap orang Islam inilah yang sampai sekarang pelakunya tidak tersentuh oleh hukum menjadi akar masalahnya.

Jika menginginkan tanah Poso damai, maka pertama yang harus dilakukan adalah penegakan hukum terhadap kasus kerusuhan di Poso baik dari pihak Kristen maupun Islam, termasuk dari pihak aparat keamanan dan pemerintah daerah Poso tanpa pandang bulu.

Kemudian yang kedua adalah mengembalikan hak-hak perdata warga Poso yang mereka tinggalkan, atau mereka jual dengan paksa dengan tekanan senjata atau anjaman akan dibunuh. Di sini warga muslim Poso terusir sekitar enam kecamatan dari tanah kelahiran mereka.

Selanjutnya harus ada keinginan baik politik-sosiologis pemerintah untuk menyelesaikan kerusuhan Poso, dengan tidak melakukan pemihakan kepada pihak pemodal. Biasanya pemerintah cenderung tidak independen karena tekanan pihak pemodal, olehnya itu pemerintah harus melindungi dan berpihak kepada warganya.

Untuk mengawal harapan-harapan itu, kiranya diperlukan Tim Khusus yang kerjanya mencari data dan mengelola data Poso, agar gerakan kedepan tidak reaksional belaka. Sebab informasi yang didapatkan sekarang ini, hanya melalui media massa dan kerabat yang kebetulan menetap di daerah Poso. Dengan adanya Tim ini elemen gerakan telah memiliki sarana mencari informasi yang khsus bertanggung jawab mencari dan mengelola data dari Poso. Adapun tindak lanjut dari data tersebut akan dilakukan oleh elemen gerakan dan masyarakat secara luas. Semoga.



§ Tulisan ini merupakan sejarah tentang wacana yang berkembang di masyarakat Muslim Sul-Teng, khususnya dalam Keluarga Besar HMI-MPO Cab. Palu, PII Wilayah Sulteng, IMM, Ikhwanun Muslimin Sul-Teng dan Anggota Tim Pengacara Muslim (TPM), yang ditindak lanjuti dalam aksi massa/ aksi damai pada 24 Januari 2007.

Ä Penulis adalah Sekretaris Umum HMI-MPO Cabang Palu periode 2006-2007.

MASYARAKAT DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Ruslan H. Husen

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako, yang kini juga kuliah di HMI-MPO Cabang Palu dan dipercaya duduk sebagai Sekretaris Umum Periode 2006-2007)


Manusia dan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul dengan orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia yang lain jika bergaul dan berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat, yang dalam proses interaksi timbal-balik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perlu semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah itulah yang mentukan mana yang boleh dilaksanakan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Pengaturan hubungan interaksi pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan yang tenteram, tertib dan aman. Didalam pergaulan tersebut manusia mendapatkan berbagai pengalaman-pengalaman, bagaimana cara mendapatkan dan memenuhi kebutuhan cukup sandang, pangan, papan dan keselamatan jiwa dan harta yang dapat mereka aktualkan. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif dan negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianut, dan mana yang buruk dan harus dihindari.

Sistem nilai-nilai yang ada dalam kultur masyarakat sangat berpengaruh terhadap pola-pola berfikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman mental baginya. Pola-pola berfikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup teratur dan pantas, sehingga sikap-sikap manusia kemudian membentuk norma-norma. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa norma-norma merupakan patokan-patokan atau pedoman perihal sikap dan tingkah laku yang diharapkan.

Dengan berbagai tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia di dalam komunitasnya, kadang melanggar hak-hak orang lain yang dalam defenisinya melanggar norma-norma yang ada. Pelanggaran ini akan menjadi masalah sosial yang tidak hanya dirasakan oleh beberapa orang saja tetapi akan dirasakan oleh sebagaian besar komunitas masyarakat tersebut, dan stabilitas ketertiban dan keamanan juga mengalamai goncangan.

Masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral serta merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak.[1] Masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Jadi, masalah sosial merupakan suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan dan hubungan sosial.

Defenisi Hukum

Pada dasarnya tidak mudah untuk mencari defenisi baku yang diakui secara umum, sebab harus menyatukan epistemologi yang di gunakan serta adanya pertemuan khusus yang menghadirkan semua ahli. Demikian juga dengan defenisi hukum, sampai sekarang belum ada kesepakatan secara umum, yang ada defenisi yang dibuat oleh ahli-ahli secara individu berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.

Walhasil sampai sekarang belum ada defenisi baku tentang hukum yang diakui secara umum. Terjadi perbedaan penafsiran defenisi tentang hukum, tergantung dari sisi mana orang tersebut memandangnya. Tetapi untuk tidak mengosongkan pemahaman tentang hukum, para ahli mencoba memberikan penjelasan tentang hukum.

Hukum pada dasarnya sesuatu yang abstrak, meskipun dalam praktek berwujud konkrit. Hukum memiliki daya paksa terhadap individu dan atau kelompok untuk taat terhadap aturan dan memiliki sanksi tegas terhadap pelaku yang melanggar norma. Hukum juga dapat ditemukan secara tertulis ataupun tidak tertulis dalam kehidupan masyarakat yang bertujuan melahirkan keadilan dan ketertiban.

Hukum Sebagai Pengatur Interaksi Masyarakat

Hukum merupakan perangkat aturan atau norma-norma yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan interaksi antara individu dengan individu lain, individu dengan masyarakat, individu dengan lingkungan, individu dengan pemerintahnya dan hubungan diantara bagian-bagian tersebut satu sama lainnya. Hukum merupakan sarana kontrol sosial yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan diakui sebelumnya.

Hukum dapat dibagi lagi menjadi hukum positif (Ius Constitutum) dan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Hukum positif merupakan aturan baku yang berlaku saat sekarang ini dan mengontrol seluruh aspek kehidupan dalam bidangnya, dan memiliki sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang melanggarnya karena dikawal pelaksanaanya oleh instutusi pemerintah. Misalnya orang membunuh di Indonesia, maka melanggar Hukum Pidana yang proses penyidikan, persidangan sampai penjatuhan sanksi diatur dalam KUH Pidana. Jadi hukum tersebut berusaha mengontrol sikap dan tingkah laku masyarakat untuk tidak berbuat melanggar hukum.

Sedangkan hukum yang dicita-citakan merupakan penjelmaan kegelisahan terhadap suatu keadaan yang stagnan, diam dan tidak mengalami perubahan, dimana hukum yang dianggap merugikan dan ketinggalan zaman kemudian digodok dan diproses sesuai mekanime yang berlaku atau ada suatu peristiwa yang belum ada aturan yang mengaturnya. Misalnya Undang-undang di rumuskan dan diajukan oleh DPR atau Presiden yang proses pengesahannya harus dari keduanya.

Keterpurukan Hukum di Indonesia

Setelah puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat tidak jua kunjung datang bahkan keterpurukan hukum di negara ini semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, hal ini terbukti dari hasil jejak pendapat berbagai media massa, salah satunya hasil jejak pendapat Harian Kompas (awal oktober 2001) menunjukkan bahwa 72,7 % responden menilai WNI belum mendapat perlalakuan yang adil; 71 % responden menilai tidak ada satu pun institusi hukum yang adil. Mengenai putusan pengadilan 45,3 % responden menilai putusan pengadilan didasarkan pertimbangan uang, 30,5 % menilai karena pertimbangan politik, dan hanya 9,3 % responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum.

Keterpurukan hukum di suatu negara, akan berdampak negatif yang mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Seakan aturan hukum menjadi sesuatu yang substansi dan urgen dalam perbaikan sektor-soktor kehidupan itu. Bagaimanapun upaya para pakar dalam mengatasi masalah ekonomi dan politik, kalau keterpurukan hukum masih terjadi maka usaha-usaha tersebut dapat bernasib sia-sia belaka.

Permasalahan umum yang biasanya muncul, adalah pertama, hukum yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif dalam pelaksanaanya. Kalau pun terlaksana telah mengalami bias idealitas dan jauh dari tujuan hukum itu sendiri, karena egoisme dan otoritas pribadi misalnya ketika polisi melakukan pemeriksaan tersangka sambil melakukan penyiksaan. Budaya yang kuat memangsa yang lemah juga merambah dalam hal ini dan terus saja terjadi tanpa ada kuasa menghalanginya.

Kedua, aturan hukum hasil dari kolaborasi dan kospirasi elit-elit kepentingan tertentu, misalnya pasal-pasal pesanan dari pihak tertentu atau pemerintah membuat aturan untuk melindungi diri dan para gengnya. Bukankah aturan hukum itu pada umumnya di produksi oleh legislatif dan eksekutif, sementara mereka itu menyuarakan dan berasal dari kepentingan politik tertentu (partai politik) yang secara otomatis akan membuat aturan untuk melindungi diri dan kepentingan kelompoknya, sehingga agak susah perumusan aturan hukum idealnya berpihak pada kepentingan umum, kecuali memang moralitas-kultural legislatif dan eksekutif tidak cacat dimata publik.

Ketiga, kondisi sosial yang sudah menjadi kebiasaan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Pemaknaan tentang hukum sekarang ini dalam kondisi tertentu seakan tidak mengikat lagi yang semua boleh dilanggar karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat prustasinya para pencari keadilan dimeja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang berpihak kepada yang punya modal besar. Termasuk juga hal lain, kebiasaan sosial-kultural masyarakat yang agak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, misalnya judi (sabung ayam) di daerah Bali menjadi kebiasaan orang Bali yang tentu bertentangan dengan hukum positif yang melarang dilakukannya judi.

Perbaikan Sistem Hukum dan Kebebasan Positivism

Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum ini. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa.

Keterpurukan hukum di Indonesia disebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai dis-orientasi gerakan dan tujuan. Artinya ada kecenderungan yang lebih kuat dan bersifat eksternal dari dirinya guna pemenuhan kebutuhan material. Penyebab tersebut berasal dari sistem hukumnya, dimana sistem hukum ini saling kait-mengkait antara satu dengan yang lainnya dan jika satu komponen sistem terganggu akan mempengaruhi komponen sistem yang lainnya.

Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana. Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan yang struktur keluarkan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Sementara sarana dan prasarana merupakan segala sesuatu (alat) yang digunkan dalam penegakan hukum dan menciptakan aturan hukum sesuai dengan kultur masyarakat dan perkembangan zaman.

Secara umum jika kita ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum tersebut perlu diperbaiki secara keseluruhan dan di isi oleh komponen yang memang betul-betul ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah komponen-komponen sistem hukum mampu keluar dari dan membebaskan diri dari belenggu positivism. Karena kalau hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara formal-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita tidak akan mampu menangkap hakikat kebenaran, karena histori filosofis yang melahirkannya, ia memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu.

Paradigma positivism, mengharuskan seseorang terdakwa/tersangka dinyatakan bersalah apabila telah ada putusan tetap, putusan hakim yang telah menentukan itu, berdasarkan asas legalitas yang dianut di negara ini. Sekalipun dia telah merampok uang rakyat, membunuh dan membantai jutaan jiwa manusia, tetapi jika hakim karena tekanan politik dan telah disuap tidak memutuskan bersalah maka menurut paradigma positivism ia tidaklah bersalah dan bukan penjahat. Mereka menganggap hukum itu semata-mata undang-undang belaka, yang dilakukan institusi pengadilan hanyalah melaksanakan undang-undang saja tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur yang lain jika undang-undang tersebut tidak mengatur perbutan hukum yang dilakukan tersangka, dalam artian berusaha menemukan hakikat hukum yang sebenarnya, sebab, walaupun tidak difonis bersalah karena tidak di atur dalam undang-undang belum tentulah ia tidak berdosa.

Berhubungan dengan fenomena tersebut kita semua sudah paham dan mengerti tentang kondisi betapa bobroknya dunia peradilan hari ini. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya diserahkan bulat-bulat pada pengadilan yang di sangsikan itu, jelaslah hukum tidak akan tegak dan bersentuhan dengan keadilan sesungguhnya. Jadi jelaslah ide kepastian hukum yang sering didengungkan oleh kaum positivism tidak selalu benar kepastian hukum, sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang-undang. Sementara hukum tidaklah identik dengan undang-undang belaka, yang secara ilmiah dapatlah dikatakan adalah tidak benar kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat.

Jadi, salah syarat untuk keluar dari keterpurukan hukum ini adalah dengan memperbaiki dan mengisi sistem hukum dengan komponen yang profesional dan bertanggung jawab menemukan hukum yang sebenarnya dengan tetap memperhatikan hukum yang berkembang ditengah masyarakat. Serta mampu lepas dari hegemoni positivism apabila suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan telah merugikan negara, kepentingan publik, tidak diatur dalam undang-undang, maka institusi pengadilan harus tetap harus menemukan esensi hukum yang sebenarnya. Jika ini tidak dilaksanakan, maka jangan bermimpi untuk melihat dan merasakan tegaknya hukum dinegara ini. Titik.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 357.