Wednesday, January 7, 2009

MASYARAKAT DAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Oleh : Ruslan H. Husen

(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tadulako, yang kini juga kuliah di HMI-MPO Cabang Palu dan dipercaya duduk sebagai Sekretaris Umum Periode 2006-2007)


Manusia dan Hukum

Manusia sebagai makhluk sosial selalu mempunyai kecenderungan untuk berkumpul dan bergaul dengan orang yang ada disekitarnya. Manusia yang satu (individu) dengan manusia yang lain jika bergaul dan berkelompok akan membentuk komunitas masyarakat, yang dalam proses interaksi timbal-balik dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, perlu semacam norma-norma atau kaidah-kaidah yang mengatur hubungan tersebut. Kaidah-kaidah itulah yang mentukan mana yang boleh dilaksanakan dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Pengaturan hubungan interaksi pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan yang tenteram, tertib dan aman. Didalam pergaulan tersebut manusia mendapatkan berbagai pengalaman-pengalaman, bagaimana cara mendapatkan dan memenuhi kebutuhan cukup sandang, pangan, papan dan keselamatan jiwa dan harta yang dapat mereka aktualkan. Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai yang positif dan negatif, sehingga manusia mempunyai konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan harus dianut, dan mana yang buruk dan harus dihindari.

Sistem nilai-nilai yang ada dalam kultur masyarakat sangat berpengaruh terhadap pola-pola berfikir manusia, hal mana merupakan suatu pedoman mental baginya. Pola-pola berfikir manusia mempengaruhi sikapnya, yang merupakan kecenderungan-kecenderungan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terhadap manusia, benda maupun keadaan-keadaan. Manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup teratur dan pantas, sehingga sikap-sikap manusia kemudian membentuk norma-norma. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa norma-norma merupakan patokan-patokan atau pedoman perihal sikap dan tingkah laku yang diharapkan.

Dengan berbagai tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup manusia di dalam komunitasnya, kadang melanggar hak-hak orang lain yang dalam defenisinya melanggar norma-norma yang ada. Pelanggaran ini akan menjadi masalah sosial yang tidak hanya dirasakan oleh beberapa orang saja tetapi akan dirasakan oleh sebagaian besar komunitas masyarakat tersebut, dan stabilitas ketertiban dan keamanan juga mengalamai goncangan.

Masalah sosial menyangkut nilai-nilai sosial dan moral serta merupakan persoalan karena menyangkut tata kelakuan yang immoral, berlawanan dengan hukum dan bersifat merusak.[1] Masalah-masalah sosial tak akan mungkin ditelaah tanpa mempertimbangkan ukuran-ukuran masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Jadi, masalah sosial merupakan suatu ketidak sesuaian antara unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok warga kelompok sosial tersebut, sehingga menyebabkan kepincangan ikatan dan hubungan sosial.

Defenisi Hukum

Pada dasarnya tidak mudah untuk mencari defenisi baku yang diakui secara umum, sebab harus menyatukan epistemologi yang di gunakan serta adanya pertemuan khusus yang menghadirkan semua ahli. Demikian juga dengan defenisi hukum, sampai sekarang belum ada kesepakatan secara umum, yang ada defenisi yang dibuat oleh ahli-ahli secara individu berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya.

Walhasil sampai sekarang belum ada defenisi baku tentang hukum yang diakui secara umum. Terjadi perbedaan penafsiran defenisi tentang hukum, tergantung dari sisi mana orang tersebut memandangnya. Tetapi untuk tidak mengosongkan pemahaman tentang hukum, para ahli mencoba memberikan penjelasan tentang hukum.

Hukum pada dasarnya sesuatu yang abstrak, meskipun dalam praktek berwujud konkrit. Hukum memiliki daya paksa terhadap individu dan atau kelompok untuk taat terhadap aturan dan memiliki sanksi tegas terhadap pelaku yang melanggar norma. Hukum juga dapat ditemukan secara tertulis ataupun tidak tertulis dalam kehidupan masyarakat yang bertujuan melahirkan keadilan dan ketertiban.

Hukum Sebagai Pengatur Interaksi Masyarakat

Hukum merupakan perangkat aturan atau norma-norma yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan interaksi antara individu dengan individu lain, individu dengan masyarakat, individu dengan lingkungan, individu dengan pemerintahnya dan hubungan diantara bagian-bagian tersebut satu sama lainnya. Hukum merupakan sarana kontrol sosial yang ditujukan untuk mengubah perilaku warga-warga masyarakat sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dan diakui sebelumnya.

Hukum dapat dibagi lagi menjadi hukum positif (Ius Constitutum) dan hukum yang dicita-citakan (Ius Constituendum). Hukum positif merupakan aturan baku yang berlaku saat sekarang ini dan mengontrol seluruh aspek kehidupan dalam bidangnya, dan memiliki sanksi yang tegas terhadap siapa saja yang melanggarnya karena dikawal pelaksanaanya oleh instutusi pemerintah. Misalnya orang membunuh di Indonesia, maka melanggar Hukum Pidana yang proses penyidikan, persidangan sampai penjatuhan sanksi diatur dalam KUH Pidana. Jadi hukum tersebut berusaha mengontrol sikap dan tingkah laku masyarakat untuk tidak berbuat melanggar hukum.

Sedangkan hukum yang dicita-citakan merupakan penjelmaan kegelisahan terhadap suatu keadaan yang stagnan, diam dan tidak mengalami perubahan, dimana hukum yang dianggap merugikan dan ketinggalan zaman kemudian digodok dan diproses sesuai mekanime yang berlaku atau ada suatu peristiwa yang belum ada aturan yang mengaturnya. Misalnya Undang-undang di rumuskan dan diajukan oleh DPR atau Presiden yang proses pengesahannya harus dari keduanya.

Keterpurukan Hukum di Indonesia

Setelah puluhan tahun supremasi hukum dan keadilan yang didambakan oleh masyarakat tidak jua kunjung datang bahkan keterpurukan hukum di negara ini semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk, hal ini terbukti dari hasil jejak pendapat berbagai media massa, salah satunya hasil jejak pendapat Harian Kompas (awal oktober 2001) menunjukkan bahwa 72,7 % responden menilai WNI belum mendapat perlalakuan yang adil; 71 % responden menilai tidak ada satu pun institusi hukum yang adil. Mengenai putusan pengadilan 45,3 % responden menilai putusan pengadilan didasarkan pertimbangan uang, 30,5 % menilai karena pertimbangan politik, dan hanya 9,3 % responden yang masih percaya bahwa putusan pengadilan di Indonesia didasarkan pada pertimbangan hukum.

Keterpurukan hukum di suatu negara, akan berdampak negatif yang mempengaruhi sektor kehidupan lain misalnya kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Seakan aturan hukum menjadi sesuatu yang substansi dan urgen dalam perbaikan sektor-soktor kehidupan itu. Bagaimanapun upaya para pakar dalam mengatasi masalah ekonomi dan politik, kalau keterpurukan hukum masih terjadi maka usaha-usaha tersebut dapat bernasib sia-sia belaka.

Permasalahan umum yang biasanya muncul, adalah pertama, hukum yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif dalam pelaksanaanya. Kalau pun terlaksana telah mengalami bias idealitas dan jauh dari tujuan hukum itu sendiri, karena egoisme dan otoritas pribadi misalnya ketika polisi melakukan pemeriksaan tersangka sambil melakukan penyiksaan. Budaya yang kuat memangsa yang lemah juga merambah dalam hal ini dan terus saja terjadi tanpa ada kuasa menghalanginya.

Kedua, aturan hukum hasil dari kolaborasi dan kospirasi elit-elit kepentingan tertentu, misalnya pasal-pasal pesanan dari pihak tertentu atau pemerintah membuat aturan untuk melindungi diri dan para gengnya. Bukankah aturan hukum itu pada umumnya di produksi oleh legislatif dan eksekutif, sementara mereka itu menyuarakan dan berasal dari kepentingan politik tertentu (partai politik) yang secara otomatis akan membuat aturan untuk melindungi diri dan kepentingan kelompoknya, sehingga agak susah perumusan aturan hukum idealnya berpihak pada kepentingan umum, kecuali memang moralitas-kultural legislatif dan eksekutif tidak cacat dimata publik.

Ketiga, kondisi sosial yang sudah menjadi kebiasaan dan diakui keberadaannya oleh masyarakat. Pemaknaan tentang hukum sekarang ini dalam kondisi tertentu seakan tidak mengikat lagi yang semua boleh dilanggar karena yang mengatur bukan lagi hukum itu sendiri tetapi kekuasaan dan harta. Ini akibat prustasinya para pencari keadilan dimeja hijau yang harus kandas dan kalah akibat putusan pengadilan yang berpihak kepada yang punya modal besar. Termasuk juga hal lain, kebiasaan sosial-kultural masyarakat yang agak bertentangan dengan hukum positif yang berlaku, misalnya judi (sabung ayam) di daerah Bali menjadi kebiasaan orang Bali yang tentu bertentangan dengan hukum positif yang melarang dilakukannya judi.

Perbaikan Sistem Hukum dan Kebebasan Positivism

Tawaran perubahan dan pembaharuan dalam bidang hukum terus bergema dengan kondisi keterpurukan hukum ini. Baik dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi-organisasi massa rakyat, akademisi dan politisi, yang kesemuanya prihatin dengan sistem hukum yang ada. Reformasi sistem hukum menjadi wacana hangat yang patut di sambut baik demi perbaikan kondisi bangsa ini. Sebab semuanya sepakat hukum menjadi salah satu penentu perbaikan bangsa.

Keterpurukan hukum di Indonesia disebabkan sistem hukum yang bekerja di dalamnya mengalamai dis-orientasi gerakan dan tujuan. Artinya ada kecenderungan yang lebih kuat dan bersifat eksternal dari dirinya guna pemenuhan kebutuhan material. Penyebab tersebut berasal dari sistem hukumnya, dimana sistem hukum ini saling kait-mengkait antara satu dengan yang lainnya dan jika satu komponen sistem terganggu akan mempengaruhi komponen sistem yang lainnya.

Sistem hukum yang dimaksud dan perlu diperbaiki adalah, struktur, substansi dan kultur hukum serta sarana prasarana. Struktur di ibaratkan sebagai mesin yang di dalamnya ada institusi-institusi penegakan hukum, seperti kepolisian, kejaksaan dan pengadilan. Dan substansi adalah apa yang di kerjakan dan dihasilkan oleh mesin itu, yang berupa putusan yang struktur keluarkan, aturan baru yang mereka susun, substansi juga mencakup aturan yang hidup dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab undang-undang. Sedangkan kultur hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan, yang mempengaruhi suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Sementara sarana dan prasarana merupakan segala sesuatu (alat) yang digunkan dalam penegakan hukum dan menciptakan aturan hukum sesuai dengan kultur masyarakat dan perkembangan zaman.

Secara umum jika kita ingin keluar dari keterpurukan hukum maka sistem hukum tersebut perlu diperbaiki secara keseluruhan dan di isi oleh komponen yang memang betul-betul ingin memperbaiki hukum dan bukannya mencari keuntungan dan menyalamatkan kepentingan diri dan kelompoknya. Serta yang tidak kalah pentingnya adalah komponen-komponen sistem hukum mampu keluar dari dan membebaskan diri dari belenggu positivism. Karena kalau hanya mengandalkan teori dan pemahaman hukum secara formal-legalistik yang hanya berbasis pada peraturan tertulis belaka, maka kita tidak akan mampu menangkap hakikat kebenaran, karena histori filosofis yang melahirkannya, ia memang tidak mau melihat dan mengakui hal itu.

Paradigma positivism, mengharuskan seseorang terdakwa/tersangka dinyatakan bersalah apabila telah ada putusan tetap, putusan hakim yang telah menentukan itu, berdasarkan asas legalitas yang dianut di negara ini. Sekalipun dia telah merampok uang rakyat, membunuh dan membantai jutaan jiwa manusia, tetapi jika hakim karena tekanan politik dan telah disuap tidak memutuskan bersalah maka menurut paradigma positivism ia tidaklah bersalah dan bukan penjahat. Mereka menganggap hukum itu semata-mata undang-undang belaka, yang dilakukan institusi pengadilan hanyalah melaksanakan undang-undang saja tanpa harus mempertimbangkan unsur-unsur yang lain jika undang-undang tersebut tidak mengatur perbutan hukum yang dilakukan tersangka, dalam artian berusaha menemukan hakikat hukum yang sebenarnya, sebab, walaupun tidak difonis bersalah karena tidak di atur dalam undang-undang belum tentulah ia tidak berdosa.

Berhubungan dengan fenomena tersebut kita semua sudah paham dan mengerti tentang kondisi betapa bobroknya dunia peradilan hari ini. Oleh sebab itu jika kebenaran sepenuhnya diserahkan bulat-bulat pada pengadilan yang di sangsikan itu, jelaslah hukum tidak akan tegak dan bersentuhan dengan keadilan sesungguhnya. Jadi jelaslah ide kepastian hukum yang sering didengungkan oleh kaum positivism tidak selalu benar kepastian hukum, sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang-undang. Sementara hukum tidaklah identik dengan undang-undang belaka, yang secara ilmiah dapatlah dikatakan adalah tidak benar kepastian hukum segera muncul begitu ada peraturan hukum yang dibuat.

Jadi, salah syarat untuk keluar dari keterpurukan hukum ini adalah dengan memperbaiki dan mengisi sistem hukum dengan komponen yang profesional dan bertanggung jawab menemukan hukum yang sebenarnya dengan tetap memperhatikan hukum yang berkembang ditengah masyarakat. Serta mampu lepas dari hegemoni positivism apabila suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dengan telah merugikan negara, kepentingan publik, tidak diatur dalam undang-undang, maka institusi pengadilan harus tetap harus menemukan esensi hukum yang sebenarnya. Jika ini tidak dilaksanakan, maka jangan bermimpi untuk melihat dan merasakan tegaknya hukum dinegara ini. Titik.



[1] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm 357.

No comments: